Ombak sedikit meninggi. Kapal seolah melompat. Tiba-tiba kapal berputar arah melewati Pulau Rambut.
Sungguh mengasyikkan pengalaman pertama mengunjungi gugusan Kepulauan Seribu, di tengah cuaca kurang bersahabat, persis pada hari pertama tahun baru lalu. Bersama empat teman, saya menjelajahi se- buah pulau di Kepulauan Seribu, yang sempat dijuluki Maladewa- nya Indonesia. Namanya Pulau Ti- dung. Ia terdiri atas dua pulau, yaitu Pulau Tidung Kecil dan Pulau Ti- dung Besar. Sampai saat ini Pulau Tidung Kecil tak berpenghuni. Ada- pun Pulau Tidung Besar dihuni se- kitar 4.000 penduduk, dan salah sa- tu pulau yang penduduknya terba- nyak di antara pulau-pulau di gu- gusan Kepulauan Seribu.
Pulau Tidung bisa dicapai dengan menumpang “Feri”–julukan warga setempat untuk sebuah kapal kayu berbahan bakar solar yang pan- jangnya 55 meter dengan lebar 3 meter. Jadwal pemberangkatan ka- pal dengan daya angkut sekitar 100 orang itu pada pukul 07.15 dari der- maga Muara Angke, Jakarta Utara, dengan ongkos Rp 33 ribu per orang. Karena itu, agar tak keting- galan kapal, saat subuh kami sudah meluncur ke Muara Angke dengan taksi. Cuma, kami sempat muter- muter mencari jalan masuk ke pela- buhan karena tak ada petunjuk yang jelas.
Hari masih begitu pagi, tapi ma- tahari sudah sedikit demi sedikit merangkak naik. Namun kami ber- syukur bisa menyaksikan sunrise pertama di tahun baru. Kami me- langkahkan kaki menuju kerumunan para penumpang yang akan me- nuju pulau-pulau di Kepulauan Se- ribu. Kulihat mereka berpencar mencari kapal yang akan membawa ke pulau tujuan. Beberapa penum- pang menuju kapal yang akan ber- tolak ke Pulau Pramuka, Pulau Un- tung Jawa, dan ada pula yang setu- juan dengan kami, Pulau Tidung.
Kapal yang kami cari ternyata nyempil di sebelah kapal yang lu- mayan besar dengan tujuan Pulau Pramuka. Sesampai di kapal, para penumpang mengambil posisi ma- sing-masing. Kami sengaja meng- ambil tempat di geladak kapal, tan- pa pengaman apa pun, agar leluasa melihat pemandangan. Sang kapten kapal berkali-kali meminta bebera- pa penumpang supaya berada di dalam dengan alasan keselamatan.
“Kalau cuaca baik, bisa ditem- puh dua jam, kok,” kata kapten se- belum kapal berangkat. Beberapa menit kemudian, kapal mulai me- rangkak perlahan menjauh dari dermaga Muara Angke. Awalnya perjalanan masih menyenangkan.
Namun, ketika melewati Pulau Un- tung Jawa, Onrust, dan Pulau Bida- dari, tiba-tiba “drettttttt brettt…”, kapal seolah melompat tinggi. Ter- nyata ombak sedikit meninggi, sua- sana pun tidak senyaman tadi.
Setelah kejadian serupa ber- ulang-ulang, tiba-tiba kapal berpu- tar arah melewati Pulau Rambut.
Sang awak kapal mengatakan,”Ki- ta harus menghindar dulu karena di ujung sana tidak terlihat matahari.
Pulau Tidung ditutupi kabut, mungkin juga badai.”Uhh….
Kapal lain yang menuju Pulau Pramuka, di belakang kami, mela- kukan hal yang sama. Lebih-ku- rang 30 menit kapal kami berhenti di atas laut yang tenang di dekat Pulau Rambut. Kapten naik ke ge- ladak.”Kalau ada yang mau ke Un- tung Jawa, boleh deh saya mampi- rin,”kata sang kapten, dengan gaya agak kocak. “Tapi saya dibayarin Pop Mie, ya.”
Saya dan teman-teman bersedia jika penumpang lain juga mau mampir. Tapi mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, dengan gurat kekhawatiran di wajah mere- ka. Merasa tawarannya tidak men- dapat respons, sang kapten kembali ke ruangannya dan menjalankan tugasnya kembali.
Demi mengikuti peringatan si kapten, yang berkali-kali membe- rikan warning, kami meninggalkan geladak untuk bergabung dengan penumpang lain di dalam kapal.
Belum sampai 30 menit, lagi-lagi kapal diterjang ombak, dan itu te- rus terjadi hingga kapal mendarat di dermaga Pulau Tidung empat se- tengah jam kemudian. Saya pun mabuk–kejadian pertama selama melakukan perjalanan dengan mo- da transportasi darat, laut, dan udara. Sungguh perjalanan yang rasanya tidak ingin saya ulang lagi.
Sesampain di dermaga Pulau Ti- dung, abang-abang tukang becak menawarkan jasa mengantarkan ke penginapan. Tapi kami memilih berjalan kaki menuju Losmen Pak Haji. Seraya melangkahkan kaki, saya memperhatikan sekeliling: ru- mah-rumah sederhana para pen- duduk, pohon pisang di kanan-kiri jalan, cemara hijau, jalanan seta- pak dengan paving block yang nya- man, senyum ramah para pendu- duk. Sesekali saya harus berhenti dan sedikit menyingkir guna mem- berikan ruang bagi pengendara se- peda yang tengah menyusuri pulau ini. Kami jadi kepingin juga berse- peda ria berkeliling pulau.
Setelah berjalan sekitar 200 me- ter, kami tiba di losmen yang kami pesan dari Jakarta. Kami menyewa sebuah rumah dengan satu kamar tidur, dua tempat tidur double bed.
Rumah ini memiliki tiga ruangan, dengan fasilitas kulkas, televisi , kamar mandi, serta air minum gra- tis. Berlima kami dikenai biaya Rp 250 ribu per malam.
Jika tidak ingin menginap di los- men yang lumayan mahal, pengun- jung bisa mendapatkan penginapan alternatif, yakni tinggal di ru- mah-rumah penduduk dengan bia- ya Rp 75-100 ribu per malam.
Beristirahat sebentar, makanan pun datang, dengan porsi untuk 13 orang, yang terdiri atas cumi bala- do, ikan goreng, sayuran, dan nasi, yang mesti kami bayar Rp 15 ribu sekali makan. Setelah makan, saya sempatkan tidur untuk melepas- kan kepenatan selama perjalanan di atas kapal, sambil menunggu te- man-teman salat Jumat.
Beberapa saat kemudian, pesan- an datang: alat snorkeling dan se- peda sudah siap di depan losmen.
Kegiatan yang harus asyik dilaku- kan di Pulau Tidung adalah berse- peda, menyusuri pantai dari Ti- dung Besar ke Tidung Kecil, dan tentunya menikmati pemandangan bawah laut dengan snorkeling dan berenang.
Untuk sewa sepeda, kita cukup mengeluarkan kocek Rp 10 ribu.
Adapun biaya perlengkapan snor- keling lengkap Rp 35 ribu. Pengun- jung juga bisa menyewa lifevest atau alat snorkeling saja.
Tibalah saatnya untuk mengeks- plorasi pulau yang sempat disebut- sebut sebagai Maladewa-nya Indo- nesia ini. Pulau Tidung memang mirip Maladewa, pulau di Lautan Hindia, 435 mil barat daya Sri Lan- ka. Sampai 50 meter dari pantai, lautnya masih dangkal. Laut hijau kebiruan, air jernih, beratapkan la- ngit biru cerah.
Kring… kring… kring…. gowes…
gowes. Saya sempat menertawakan diri sendiri yang berkali-kali terpe- leset akibat lupa cara mengendarai sepeda. Untung akhirnya bisa juga.
Saya jadi teringat kenangan masa kecil ketika bersepeda. Bersepeda di Pulau Tidung, kita harus berhati-hati karena sepeda- sepeda yang ditawarkan tergolong tua. Bahkan ada yang tidak memi- liki rem sama sekali. Sadel bebera- pa sepeda pun sudah tidak nyaman untuk diduduki.
Walau demikian, saya benar-be- nar menikmati bersepeda keliling pulau melewati rumah-rumah pen- duduk, sesekali bertukar senyum dengan mereka, menikmati semilir angin dan deru ombak. Dari keja- uhan, saya menatap keindahan cip- taan Tuhan: hamparan laut biru kehijauan yang luas, berpadu pa- dan dengan langit biru cerah dan pepohonan rindang di kiri-kanan jalan.
Saya terus mengayuh sepeda me- nuju sebuah pulau tanpa penghuni nan eksotik, yaitu Pulau Tidung Kecil. Nah, Pulau Tidung Kecil ter- kenal dengan pasir putihnya. Di si- ni juga merupakan spot menarik untuk melakukan snorkeling.
Untuk mencapai Tidung Kecil, dari Pulau Tidung Besar, kita harus melewati jembatan yang panjang- nya lebih-kurang 2 kilometer. Ada- kalanya sepeda pun mesti kita jin- jing. Bersepeda di atas jembatan yang lebarnya mungkin hanya 1,5 meter ini bisa menjadi sebuah pengalaman tak terlupakan. Ada dua pilihan: tetap mengayuh sepe- da dengan perasaan deg-degan ka- rena ada beberapa bagian dari jembatan yang bolong tanpa peng- aman atau berjalan berjejer sambil mendorong sepeda. Kalau bersama pasangan, pasti sangat romantis.
Sambil berjalan atau mengayuh se- peda, kita tidak akan pernah luput dari pemandangan bawah laut yang terdapat di kanan-kiri jembaKecil dan Tidung Besar. Kami pun harus kembali ke penginapan de- ngan mengayuh sepeda.
Malam semakin larut. Kesunyian menyelimuti Pulau Tidung Besar.
Berbaur dengan penduduk, saya sempat mendengar perbincangan mereka yang resah akan hasil tang- kapan ikan. Sementara itu, di su- dut lain, saya menyaksikan pendu- duk yang masih terus bekerja membuat sebuah kapal walaupun hari sudah larut. Sebuah gambaran perjuangan hidup di sebuah pulau cantik yang penuh potensi namun belum banyak terekspos.
Keesokan harinya, kami harus kembali ke Jakarta. Kekhawatiran akan cuaca buruk pupus tatkala melihat matahari pagi yang sa- ngat indah di ufuk timur dengan warna merah keemasan yang di- pantulkan seolah berkata bahwa esok hari cuaca akan sangat ber- sahabat.
EGITA PAULINE, PENIKMAT PERJALANAN, TINGGAL DI JAKARTA