Liputan khusus Kompas
Membangun Kesepahaman Dua Negara Besar
Kompas/Subhan SD
Wakil Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin saat bertemu dengan Kepala Staf Militer Brasil Jenderal Jose Carlos de Nardi di Brasilia, Brasil, November 2012. Kedua negara sepakat menjalin kerja sama militer, baik dalam pembelian alat utama sistem persenjataan maupun pelatihan dan tukar pengalaman antarpersonel untuk mewujudkan personel militer yang profesional.
Saat meninggalkan kantor pabrik roket Avibras Industria Aerospacial l di Sao Jose Dos Campos, Brasil, November lalu, langkah Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo terhenti sejenak begitu melihat sebuah foto di dinding di koridor jalan menuju pintu keluar. Foto itu memperlihatkan bendera Malaysia dan rombongan negara itu saat bertandang membeli senjata ke pabrik tersebut.
”Malaysia memang lebih dulu,” kata Pramono soal pembelian roket Avibras yang merupakan bentuk kerja sama pertahanan kedua negara. Dibanding negara-negara di Asia Tenggara, terlebih dengan kondisi faktual Indonesia sebagai negara besar, harus diakui bahwa Indonesia kalah cepat dalam memenuhi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Bahkan, sejak embargo oleh Amerika Serikat, kondisi pertahanan Indonesia begitu jauh tertinggal.
Runyamnya, masalah alutsista justru lebih banyak diwarnai polemik. Contohnya, pembelian 150 main battle tank Leopard ukuran 60 ton dari Jerman senilai Rp 2,6 triliun. Semula, TNI akan membeli tank tersebut dari Belanda, tetapi ada penolakan dari Parlemen Belanda. Selain diwarnai kritik bahwa jenis tank tersebut tidak lincah di alam tropis dan karakteristik daratan Indonesia, juga soal anggaran yang dinilai besar.
Debat soal alutsista memang sering kali ”memanas”. Komisi I DPR dan masyarakat sipil berulang kali mengkritisi kebijakan di bidang pertahanan, mulai jenis senjata yang tepat untuk iklim dan kondisi Indonesia, dugaan praktik kongkalikong oknum dan rekanan, hingga besaran anggaran. Masalah inilah yang kemudian mencuat setelah Sekretaris Kabinet Dipo Alam melaporkan Kementerian Pertahanan (Kemhan) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebulan silam.
Bagaimanapun juga, kondisi sistem pertahanan Indonesia yang renta rasanya sudah disadari banyak pihak. Tidak mengherankan, sekarang ini pemenuhan dan percepatan alutsista menjadi target utama. Dalam rapat kabinet bidang politik, hukum, dan keamanan secara simultan sepanjang Agustus sampai November 2011, pengadaan alutsista TNI periode 2010-2014 mengarah pada prioritas dan pemenuhan alutsista untuk mencapai postur kekuatan dasar minimum atau minimum essential force (MEF), akselerasi pengadaan alutsista, dan pentingnya high level committee (HLC) yang bertugas mempercepat proses pengadaan alutsista tersebut.
Untuk itu, melalui Kemhan, dijalin berbagai kerja sama pertahanan, salah satunya dengan Brasil. Bukan hanya industri pertahanannya yang cukup populer di kawasan Amerika Latin dan sebagian Afrika dan juga beberapa negara Eropa, Brasil juga merupakan kekuatan ekonomi baru dalam kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang oleh kelompok Goldman Sachs diprediksi mengungguli negara-negara kaya di masa depan.
Menurut Pramono Edhie, karakter alam Indonesia dan Brasil juga cenderung sama. Kerja sama ini pun disambut positif Kepala Staf Angkatan Bersenjata Brasil Jenderal Jose Carlos de Nardi saat menerima kunjungan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di Kantor Kemhan Brasil di Brasilia, Brasil, 12 November lalu.
De Nardi didampingi tim cukup lengkap antara lain Wakil Kepala Kebijakan dan Strategi Letjen Carlos Cesar Araudjo de Lima, Kepala Penasihat Khusus Manajemen dan Proyek Letjen Vicente Golcalves de Megalhaes, dan Kepala Proyek Strategi Proyek Astros Mayjen Jose Julio Dias Baretto. Sjafrie yang juga Ketua HLC saat itu ditemani KSAD Jenderal Pramono Edhie, Kepala Badan Pendidikan dan Latihan Kemhan Mayjen Suwarno, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan Mayjen Ediwan Prabowo, serta Dubes RI untuk Brasil Sudaryomo Hartosudarmo.
Kerja sama militer antara Brasil dan Indonesia bukan hanya menyangkut pembelian alutsista, tetapi juga mengenai pelatihan dan pendidikan bagi prajurit untuk meningkatkan profesionalitas TNI terutama dalam mengoperasi persenjataan modern. De Nardi bahkan menyatakan, secara teknis kedua negara bisa saling mengirim personel untuk saling tukar ilmu dan pengalaman. Saat Indo Defence 2012 digelar pada awal November lalu juga dilakukan penandatanganan kerja sama transfer of technology antara Indonesia dan Brasil, juga dengan Jerman.
Bagi Brasil, Indonesia adalah negara besar sehingga mereka juga memperhitungkan kekuatan militer Indonesia. ”Hubungan dengan Indonesia betapa penting. Indonesia memiliki sekitar 17.000 pulau dan penduduk sekitar 250 juta. Kita perlu tingkatkan kerja sama ini. Saya baru kembali dari Asia, saya melihat betapa penting peran Indonesia terutama di kawasan Pasifik. Indonesia punya kekuatan besar di bidang pertahanan. Indonesia dan Brasil adalah negara besar. Kita dapat bekerja sama dengan baik,” kata Kepala Produk-produk Pertahanan Kemhan Brasil Mayjen Jose Euclides da Silva Goncalves.
Kesepahaman petinggi militer kedua negara tampaknya sudah sama. Bisa jadi itulah langkah awal membangun sistem pertahanan yang kuat. (Subhan SD)
Saat Mau Beli Roket Saja, Ada Tetangga Bertanya-tanya
KOMPAS/SUBHAN SD
Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo menyimak penjelasan Chief Executive Officer Avibras Sami Youssef Hassuani menge- nai roket buatan pabrik Avibras di Sao Jose dos Campos, Brasil, November lalu.
Seorang jenderal bintang dua berkisah. Sewaktu menjadi komandan di kesatuan, dalam latihan menembak ia memerintahkan anggotanya untuk memutar moncong meriam ke sudut tertentu. Namun, putaran itu ternyata tidak tepat betul karena ada selisih beberapa derajat. Semakin jauh, maka sudut selisih itu akan makin lebar. Artinya, ketika peluru ditembakkan, pasti meleset jauh.
Sealinea kisah itu menandakan bahwa betapa alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI sudah benar-benar usang. Contohnya, meriam M-48 kaliber 76 milimeter (mm) seberat 680 kilogram dengan jarak tembak 8.750 meter untuk artileri medan (armed) yang merupakan buatan Yugoslavia (yang kini telah bubar) tahun 1958. Bahkan, meriam kaliber 105 mm M101A1 seberat 2.260 kg dengan kemampuan maksimum 11.270 meter adalah buatan Amerika Serikat tahun 1940.
Di udara, sudah beberapa kali terjadi pesawat TNI AU jatuh. Contoh terakhir adalah jatuhnya pesawat jenis Hawk 200 di Riau pada Oktober 2012. Sebelumnya, Juni 2012, pesawat Fokker 27 jatuh di areal perumahan di lingkungan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dengan kasus-kasus tersebut, modernisasi alutsista menjadi sangat krusial bila tak ingin menyaksikan kembali alat pertahanan negeri ini rontok satu persatu.
Dalam konteks tersebut, kebijakan pemerintah yang memprioritaskan kebutuhan anggaran untuk pembelian alutsista dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 senilai Rp 150 triliun rasanya tidak berlebihan. Rinciannya, realisasi percepatan kekuatan minimum dasar atau minimum essential force Rp 50 triliun. Alokasi anggaran Rp 100 triliun berupa pinjaman luar negeri, pinjaman dalam negeri, pengembangan teknologi industri pertahanan, pemeliharaan dan perawatan.
Di tengah kondisi yang kerap diwarnai polemik, Indonesia lebih melirik Brasil yang industri pertahanannya kian tumbuh. Penjajakan sekaligus pembelian alutsista itulah yang dilakukan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bersama petinggi Kemhan serta Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo saat berkunjung ke Brasil pertengahan November lalu. Bukan saja bertemu petinggi Kemhan Brasil, delegasi Indonesia juga meninjau pabrik pesawat terbang Embraer dan pabrik roket Avibras di Sao Jose dos Campos.
Indonesia melengkapi sistem alutsistanya dengan teknologi Brasil, yaitu pesawat Super Tucano EMB-314. Pesawat ini merupakan pesawat latih ringan yang memiliki kemampuan antigerilya, intersepsi, dan terbukti mampu menjaga wilayah perbatasan. TNI membeli 16 pesawat Super Tucano, dan delapan di antaranya telah terbang menjaga wilayah Indonesia.
Super Tucano antara lain memiliki sistem navigasi yang andal, dua senjata berat di sayap kiri dan kanan, serta bom sekelas MK 81 dan MK 82, rudal berpemandu laser sejenis Maverick. Pesawat ini menggantikan pesawat OV-10F Bronco buatan Rockwell, Amerika Serikat.
Ketika bertemu Presiden Embraer Defense and Security Luiz Carlos Aguiar di Sao Paolo, Sjafrie memastikan betul soal transfer teknologi pesawat tersebut untuk ke depannya. Hal itu untuk memberi kepastian agar dalam perawatan pesawat itu tidak menemui kendala. Pada 2013-2014 dipastikan total 16 Super Tucano seharga 295 juta dollar AS beroperasi menjaga perbatasan.
Tak kalah penting adalah peninjauan lapangan ke pabrik roket Avibras Industria Aeroespacial di San Jose dos Campos, termasuk pembicaraan langsung dengan Chief Executive Officer Avibras Sami Youssef Hassuani demi menghindari sistem perantara. Roket Astros II Mk 6 (versi terbaru) yang masuk dalam agenda pembelian alutsista sistem peluncur roket jarak jauh (multilauncher rocket system/ MLRS) dipastikan sudah terealisasi tahun 2013. Menurut Sami Youssef Hassuani, perjanjian transfer teknologi tentu saja akan memperkuat kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Brasil.
Bagi Pramono, Indonesia sudah lama tidak punya satuan roket. Sesuai rencana, Indonesia membeli 36 roket Astros seharga 405 juta dollar AS untuk dua batalyon. Daya jangkau roket Astros 95 kilometer. ”Tetapi, masih bisa dikembangkan sampai jarak 300 km,” kata Pramono. Sistem pertahanan RI diharapkan bisa menyamai negara-negara tetangga. ”Saat kita baru mau beli saja, sudah ada yang mendekati tanya-tanya,” kata Pramono yang mengaku sempat ditelepon petinggi militer negara tetangga. Tentu saja alutsista bukanlah untuk menciptakan perang, melainkan agar mampu menjaga pertahanan dan kedaulatan negeri ini.(Subhan SD)