INVESTIGASI Amisnya Ayat Perikanan
[Click To Enlarge]
(Tulisan 1) SEJATINYA, Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan
(KP) No 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap diadakan untuk
menyempurnakan berbagai aturan dalam semangat melindungi serta memajukan
usaha perikanan Indonesia. Pada 27 Desember 2012, satu hari sebelum
libur Tahun Baru, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo
menandatangani Permen KP No 30 Tahun 2012. Tak dinyana, dalam permen itu
muncul ayat tambahan yang meresahkan nelayan Indonesia.
Pasal 69 Permen KP 30/2012 yang saat penggodokan hingga
jelang penerbitan konon hanya sampai ayat 2 ternyata kemudian mendapat
susupan satu ayat lagi sehingga menjadi tiga.
Ayat 3 tersebut boleh dikata
memberi insentif khusus kepada kapal-kapal berbobot 1.000 gros ton (GT)
ke atas untuk menangkap ikan, memindahkan muatan (transhipment) di
tengah laut, serta membawa langsung ikan tangkapan ke luar negeri.
Bunyi Pasal 69 ayat (3) seperti ini: ‘Dalam pelaksanaan transhipment,
ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI (surat izin
penangkapan ikan) atau SIKPI (surat izin kapal pengangkut ikan) dan
tidak dibawa ke luar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang
menggunakan alat penangkapan ikan purse seine (pukat cincin) berukuran
di atas 1.000 GT yang dioperasikan
secara tunggal’.
Bunyi ayat 3 Pasal 69 Permen 30/2012 itu jelas bertentangan dengan UU No
31/2004 jo UU No 45/2009 tentang Perikanan, yang melarang Indonesia
mengekspor bahan baku ikan saat industri pengolahan hasil perikanan
dalam negeri kekurangan bahan baku.
Permen 30/2012 digodok saat Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian
Kelautan dan Perikanan dijabat Heriyanto Marwoto.
“Kami menggodoknya sejak awal 2012 dan mengalami tujuh kali pergantian
sebelum diterbitkan,” jelas Marwoto, pekan lalu.
PROSES penyusunan peraturan menteri dimulai dari Direktorat Jenderal
(Dirjen) Perikanan Tangkap. Selanjutnya dikonsultasikan ke pemangku
kepentingan di Manado, Bitung, Bali, dan Batam. Saat itu belum ada ayat 3.
“Waktu kami serahkan ke Sekjen KKP juga belum ada ayat itu,” terang Marwoto.
Hingga penyusunan terakhir yang dilakukan tim Dirjen Perikanan Tangkap,
pasal 69 tetap hanya sampai pada ayat 2.
Marwoto tidak mengetahui siapa yang menyusupkan ayat itu. Dia hanya
menyebutkan Sekjen KKP mempunyai kewenangan untuk memfi nalisasi semua
aturan. “Tapi ya itu kebijakan menteri,” imbuh Marwoto yang pada
Februari 2013 dinonjobkan.
Dirjen Perikanan Tangkap selanjutnya dipercayakan kepada Gelwyn Jusuf,
yang sebelumnya atasan Marwoto selaku Sekjen KKP. Secara posisi, Gelwyn
memang turun pangkat, tapi ayunan langkah kerjanya akan lebih padu
dengan Menteri KP Cicip untuk mengontrol operasional usaha perikanan.
Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan KKP Muhammad Zaini
menepis ayat 3 disusupkan oleh jajaran sekjen atau orang Menteri KKP.
“Isu penyelundupan pasal 69 ayat 3 ke dalam Permen 30/2012 sering
dijadikan penyebab pergantian Dirjen Perikanan Tangkap. Padahal, mantan
Dirjen Perikanan Tangkap (Marwoto) ikut memaraf draf Permen 30 yang
memuat pasal 69 ayat 3,” tukas Zaini yang ikut membidani lahirnya Permen
30 Tahun 2012, kemarin.
Dia menerangkan proses pembuatan peraturan itu diawali dari pembahasan
di tingkat eselon III dan IV.
Dalam pembahasan di eselon III dan IV, pasal 69 ayat 3 memang belum muncul.
Setelah dibahas di tingkat eselon III dan IV, permen diserahkan ke
eselon II. Di tingkat eselon II, pembahasan dilakukan bersama para
pemangku kepentingan. Di sinilah pasal 69 ayat 3 muncul.
“Dari eselon II, draf permen diserahkan ke eselon I atau Dirjen
Perikanan Tangkap yang saat itu dijabat Marwoto.
Dirjen Perikanan Tangkap menyetujui draf tersebut dan memarafnya.
Setelah diparaf, draf permen diserahkan ke Menteri Kelautan dan
Perikanan,” terangnya.
Pengusaha asing Baik asosiasi nelayan maupun pengusaha perikanan
mengkhawatirkan pasal 69 ayat 3 akan menghabisi mereka karena ikan di
laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah pasti dikuasai pengusaha
asing secara legal.
Sampai saat ini tidak ada pengusaha Indonesia yang memiliki kapal
penangkap ikan ukuran 1.000 GT.
Penelusuran Media Indo nesia, kapal berukuran 1.000 GT pernah dimiliki
PT Multi Transpec di Biak pada 1979.
Namun, kapal bernama KN Cakalang itu merupakan hasil investasi pengusaha
Prancis.
Saat ini Indonesia memiliki sekitar 400 ribu kapal ikan.
Sebanyak 90% berbobot di bawah 5 GT. Adapun 4.300an di atas 30 GT.
Namun, tak ada satu pun yang berbobot 1.000 GT.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan pencurian ikan Indonesia
sejak 2008 setidaknya sebanyak 1 juta ton per ton per tahun. Jika
diuangkan, nilainya sekitar Rp30 triliun per tahun.
Salah satu modus kapal penangkap ikan asing bebas beroperasi ialah
dengan memanfaatkan surat izin legal yang dimiliki pengusaha lokal.
Praktik itu kerap disebut pinjam bendera.
M a n t a n M e n t e r i K P Rokhmin Dahuri menyatakan bisnis perizinan
pinjam bendera sudah berlangsung lama karena kentalnya KKN pengusaha
dengan pejabat penerbit perizinan. Fee untuk satu perizinan mencapai
US$1.000 per kapal setiap bulan pada 2002. “Ada yang memegang sampai 200
izin. Bayangkan saja berapa fee diperolehnya per bulan,” ujarnya.
Dua tahun lalu, harga jual beli surat izin penangkapan ikan (SIPI)
berkisar US$4.000US$5.000 per bulan. Bila satu broker mengantongi 200
SIPI dan lama kapal beroperasi delapan bulan, dia akan mendapatkan
penghasilan Rp60,3 miliar dengan kurs 9.000 per dolar AS (US$4.000 x 200
SIPI x 8 bulan). Bisnis perizinan pun akan menyuplai dana segar.
(Nat/Mhk/Bam/Edn/ Faw/T-1)
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2013/04/30/ArticleHtmls/INVESTIGASI-Amisnya-Ayat-Perikanan-30042013006015.shtml?Mode=1#