Archive for February, 2011

February 28, 2011

Lion Minta Jaminan Investasi di Indonesia

Angkasa Pura oh angkasa pura…Bumn ini memang memalukan , lihat saja cara mereka mengurus bandara gerbang indonesia. Bau pesing ,penuh calo dan pungli..
Direksi AP juga kelakuannya mirip calo.
Penerbangan
Lion Minta Jaminan Investasi di Indonesia
Penulis: Hendra Gunawan | Editor: Erlangga Djumena
Senin, 28 Februari 2011 | 09:22 WIB
Dibaca: 2515Komentar: 11

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT
Pesawat Lion Air Boeing 737-900ER di apron Terminal 1A Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta.

JAKARTA, KOMPAS.com — PT Lion Mentari Airlines dan grup meminta jaminan kepada pihak-pihak terkait untuk berinvestasi di Indonesia.

Gagalnya rencana membangun hanggar senilai 10 juta dollar AS di areal Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, membuat maskapai berkonsep low cost carrier (LCC) tersebut sangat berhati-hati.

Tawaran dari pihak PT Angkasa Pura (AP) I untuk membangun hanggar di wilayah Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, pun belum disambut. Direktur Utama Lion Rusdi Kirana mengatakan, sebenarnya tidak masalah membangun lokasi perawatan pesawat di Makassar. “Persoalannya adalah bagaimana agar urusannya kelar dan siap dengan Gubernur (Sulawesi Selatan) supaya kalau ada masalah kami dianggap mengingkari janji. Kami tidak mau masuk ke konflik seperti ini. Kami mau berbisnis membangun hanggar untuk perawatan,” kata Rusdi di Jakarta.

Rusdi mengatakan, pihaknya becermin pada gagalnya pembangunan hanggar di Manado, tempat Lion telah membebaskan lahan seluas 12 hektar dengan harga Rp 7 miliar. Saat itu Gubernur Sulawesi Utara telah setuju dan meresmikan, bahkan dengan direksi lama PT AP I juga telah menandatangani nota kesepahaman (MOU). Namun, direksi baru AP I tidak menyetujui pola kerja sama tersebut dan AP I meminta share sebesar 51 persen saham.

Hal itu membuat Lion akhirnya mundur meski telah membebaskan tanah. Padahal, kata Rusdi, rencananya setelah membangun hanggar bernilai 10 juta dollar AS, Lion akan berinvestasi hingga 40 juta dollar AS. “Masalahnya sekarang, tidak ada kejelasan dari pihak AP I. Padahal sudah ada MOU dan kami sudah beli tanah. Sudah ada peresmian, tiba-tiba tidak bisa. Nah, di Makassar ada jaminan tidak? Proyek di Manado itu sudah dua tahun tidak jelas. Kalau ke Makassar, berapa tahun lagi?” tanya Rusdi.

Makassar, dia menjelaskan, sebenarnya sangat prospektif bagi Lion. Sebagai salah satu hub Lion, Bandara Sultan Hasanuddin menjadi pusat penerbangan di Indonesia timur. Bahkan, setiap hari Lion menerbangkan sebanyak 40 pesawat ke berbagai daerah.

Setelah gagal menyepakati pembangunan hanggar di Manado, Dirut PT AP I Tommy Soetomo menawarkan kerja sama pembangunan perawatan pesawat di kawasan lama Bandara Sultan Hasanuddin.

Dia membantah menghalangi niat Lion membangun hanggar di Manado. Menurut dia, Lion lebih cocok membangun hanggar di Makassar. Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang juga telah menemui Rusdi dan menawarkan lokasi hanggar di Palangkaraya.

Rusdi menyatakan pikir-pikir karena secara bersamaan Malaysia pun menawarkan lokasi di Subang, Johor Bahru, dengan harga sewa cukup murah, bahkan dalam 40 tahun lokasi tersebut bisa jadi hak milik Lion. Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti Singayudha Gumay meminta Lion dan PT AP I bertemu kembali serta duduk satu meja untuk membahas bersama masalah tersebut.

Herry tetap berkeyakinan bahwa Lion tidak akan berinvestasi ke luar negeri. “Jadi begini, kan memang harus bekerja sama dengan BUPU (Badan Usaha Pelabuhan Udara), jadi ya berkoordinasi dahulu. Lion dan AP I harus duduk bersama membahas ini,” katanya.

Dia menegaskan, AP I tidak berhak memiliki saham Lion dalam penyelenggaraan tempat perawatan pesawat. “Koordinasi harus ada. Kepemikan saham tidak ada haknya, tetapi bentuknya kerja sama, misalnya berupa konsesi,” ujar Herry.

Sent from Indosat BlackBerry powered by

Sumber :tribunnews.com

Share
26

Ada 11 Komentar Untuk Artikel Ini.

super visor
Senin, 28 Februari 2011 | 12:45 WIB
negeri penyamun…
Balas tanggapan

erry christian
Senin, 28 Februari 2011 | 12:38 WIB
indonesia ini udah kaya preman resmi yang anehnya para preman ini kita sendiri yang milih melalui pemilu, setelah itu para preman2 itu di lantik menjadi presiden dan wakil, dan setelah itu mereka merekrut para preman-preman baru untuk membantu mereka (Bos Besarnya) untuk mengumpulkan “Pajak-Pajak” yang kata mereka sudah menjadi hak “Kami” (Rakyat Indonesia) padahal cm untuk mereka2 saja…jadinya negara indonesia ini adalah negara preman terbesar di dunia…liat aja ucapan-ucapan para penjabat seolah2 mereka membela rakyat tetapi mereka malah mengsengsarakan rakyat….gaji ada pph, belanja kena ppn, tokonya ada ppn, karyawan tokonya kena pph…beli tanah untuk usaha ada pajak nya, bangun bangunan pake pajak, belu bahannya di pajakin juga…koq anehnya pemerintah masih mengeluh “ada sekitar 1000trilliun” pajak negara yang menguap????? pertanyaannya, siapa yang ambil??? atau jangan2 “Jeruk Makan Jeruk” neh???? musuh di balik selimut pemerintah sendiri…
Balas tanggapan

DEDI NOFERSI
Senin, 28 Februari 2011 | 11:57 WIB
Bagusnya di Malaysie saje investasinye Cik Rusdi. Dari business sangat menjanjikan dengan cabaran yang lebih menggelegar … eh em ehm
Balas tanggapan

munir chenovel
Senin, 28 Februari 2011 | 11:22 WIB
Persoalannyakan gampang, soalnya pimpinan barukan belum dapat bagian. Coba diberi oli yg bagus, lihat lancar tidak?
Balas tanggapan

Basyogi Wardoyo
Senin, 28 Februari 2011 | 10:10 WIB
memang para direksi bumn tidak lebih dari birokrat bobrok yang pindah profesi sebagai pengusaha. maunya cuma bagi untung; keuntungan kalian bagi ke saya (bukan kami), keuntungan kami untuk kami sendiri.
Balas tanggapan
1 2 3 »
Kirim Komentar Anda
Nama
lila
Email
lilamaniz68@gmail.com
Komentar

Kirim Batal
Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak untuk tidak menampilkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA.

Bisnis & Keuangan Terpopuler Terkomentari
Selengkapnya
Yenny Wahid Dilamar Banyak Partai
Sudi: Boikot Media Bukan Sikap Presiden
Kami Menghormati, Bukan Berarti Menerima
Menkominfo Minta Segera UU Penyadapan
Yenny Anggap Wajar Pindahnya Kiai ke PPP

See More: Index Berita Info Kita Surat Pembaca Berita Duka Seremonia DKK Matahati Tanah Air Kompas Kita Kompas AR Kompas Dakode
Kompas Widget Kompas Apps Kabar Palmerah RSS Feed Site Map
About Kompas.com | Advertise With Us | Info iklan | Privacy policy | Terms of use | Karir | Contact Us | Kompas Accelerator For IE 8 | KOMPAS.com for IE9
© 2008 – 2011 KOMPAS.com – All rights reserved

February 28, 2011

Infrastruktur Bahan Bakar Gas Tak Tumbuh

JAKARTA, KOMPAS.com – Penggunaan gas sebagai energi alternatif selain Bahan Bakar Minyak (BBM) belum ditunjang infrastruktur yang memadai. Salah satunya jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang sedikit, hanya sekitar 10 stasiun di Jakarta.

“Dengan 70 persen sumber energi ada di luar Pulau Jawa, sedangkan 70 persen pemakai ada di Pulau Jawa, maka harus ada alternatif (BBM), yaitu gas,” tutur Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia(HIPMI), Andhika Anindyaguna, di Jakarta, Kamis (24/2/2011).

Ia bicara saat diskusi dampak kebijakan pembatasan subsidi BBM terhadap kelangsungan UKM di Sekretariat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Jl Majapahit, Jakarta Pusat.

Menurut dia, infrastruktur gas tidak tumbuh, sehingga jika ada pembatasan BBM seperti yang akan diberlakukan, infrastruktur gas menjadi penting diperhatikan, khususnya di Jakarta.

“Masalahnya, infrastruktur gas, peralatan konverter disediakan gratis, tapi SPBG jarang,” kata Andhika. Jika melihat data subsidi energi dalam RAPBN 2011 sebesar Rp 133,8 trilun, menurut Andhika, 10 persen atau sekitar RP 13 triliun cukup untuk membangun sekitar 650 SPBG. Biaya per SPBG itu sekitar Rp 20-30 miliar.

Adapun suplai gas bisa mengambil 5-10 persen dari 825 juta kaki kubik yang dialirkan PGN tiap hari. “Kalau 80 juta kaki kubik dialirkan untuk mengisi 600 lebih depo gas, pemberlakuan kuota BBM tidak menjadi masalah,” tambahnya. “Jika pemerintah siap Go Gas, maka industri otomotif dapat menyesuaikan lima tahun ke depan. Ini akan berkoordinasi dengan menteri transportasi, pengusaha transportasi dan lainnya.”

Kemungkinan Penyimpangan Dari Pembatasan Subsidi Kebijakan pembatasan subsidi dapat menyebabkan penyimpangan. Sugiyono, peneliti Indef mengemukakan, kemungkinan angkutan umum yang tadinya tidak aktif menjadi aktif, atau mereka bisa jadi pengecer.

“Ini dapat terjadi karena kita belum mendapat polanya (teknis) dari pemerintah seperti apa,” jelasnya. Sedangkan Ketua IWAPI, Rini Fahmi Idris, berpendapat, pembatasan subsidi BBM juga memungkinkan masyarakat akan membeli BBM produk asing, seperti Shell atau Petronas, yang selisih harganya tipis tapi kualitasnya lebih baik.

February 28, 2011

Kawasan Industri Sei Mangkei Telan Investasi Rp 6,8 Triliun

detikFinance » Industri

Minggu, 27/02/2011 17:08 WIB
Kawasan Industri Sei Mangkei Telan Investasi Rp 6,8 Triliun
Suhendra – detikFinance

Jakarta – Pengembangan kawasan industri khusus Sei Mengkei membutuhkan investasi sedikitnya Rp 6,8 triliun termasuk untuk industri di dalamnya. Kawasan industri khusus seluas 104 hektar ini secara bertahap akan ditingkatkan menjadi 600 hektar hingga 3000 hektar.

Berdasarkan bahan menteri BUMN yang diperoleh detikFinance, mengenai Peranan BUMN dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Nasional (MP3EN) kawasan industri khusus Sei Mangkei dijadwalkan pelaksanaannya pembangunannya 2010-2014.

Diharapkan akan ada 1.245 orang tenaga kerja akan terserap dari kawasan industri khsusu yang berlokasi do Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Kawasan industri Sei Mangkei merupakan suatu kawasan industri berbasis kelapa sawit yang dibangun oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Proyek ini diharapkan menjadi pioner bagi pengembangan industri hilir kelapa sawit dan crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.

Rencananya untuk tahap awal pembangunan kawasan Sei Mangkei sebagai kawasan industri khusus akan dipakai untuk membangun pabrik refinery dan oleochemicals seluas 104 hektar.

(hen/hen)
,
telepon 021-7941177 (ext.518).

February 28, 2011

Ini Dia Rencana Pengembangan Stasiun KRL di Jakarta

detikFinance » Ekonomi Bisnis

Minggu, 27/02/2011 18:20 WIB
Ini Dia Rencana Pengembangan Stasiun KRL di Jakarta
Ade Irawan – detikFinance

Jakarta – Pemerintah tengah menyiapkan rencana besar untuk meningkatkan utilisasi (kapasitas terpasang) jaringan kereta listrik (KRL) yang sudah ada (existing) di Jakarta periode 2011-2014 atau pembangunan circle line.

Peninggkatan utilisasi jaringan KRL ini bertujuan mendorong peninggkatan penggunaan transportasi pribadi dan mengurangi populasi kendaraan di jalan-jalan ibukota.

Pemerintah mengharapkan masyarakat beralih menggunakan angkutan umum seperti kereta api listrik, untuk mengurangi kemacetan di jalan raya. Sampai saat ini, volume populasi kendaraan di Ibukota mencapai sekitar 10 juta kendaraan.

Berdasarkan bahan menteri BUMN yang diperoleh detikFinance, mengenai Peranan BUMN dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Nasional (MP3EN). Setidaknya ada beberapa rencana yang masih dikaji terkait peningkatan utilisasi jaringan KRL existing, antaralain:

Akan dibangun 5 stasiun KRL baru yang meliputi stasiun Mampang Baru, Roxy, Matraman, Tomang, dan Bandengan.
Akan dibangun 5 stasiun transit yang meliputi Manggarai, Tanah Abang, Duri, Jatinegara dan Kampung Bandan.
Akan dibangun juga 9 stasiun yang akan terinterkoneksi dengan 8 koridor Transjakarta seperti stasiun Sudirman, Jakarta Kota, Juanda, Gambir, Mampang, Matraman, Tomang, Tanjung Priok, dan Pasar Senen.
Sebanyak 5 stasiun akan dilengkapi dengan taxi rank yang meliputi stasiun Jatinegara, Manggarai, Pasar Senen, Gambir, dan Juanda.
Selain sarana untuk Jakarta, pemerintah juga menyiapkan pembangunan di stasiun-stasiun sekitar Jakarta menjadi stasiun yang dilengkapi dengan park and ride, seperti Stasiun Bogor, Cilebut, Bojong Gede, Depok, Bekasi, Serpong, Sudimara, Pondok Ranji, Poris, dan Tangerang.

Dana yang dibutuhkan untuk pengembangan stasiun-stasiun tersebut mencapai Rp 36 Triliun. Pelaksanaan pembangangunan jalur KRL ini memerlukan izin dari Kementrian Perhubungan. Apabila sudah memperoleh izin, proyek ini dijadwalkan akan dimulai pada bulan Juni 2011.
(hen/hen)

GRATIS! puluhan voucher pulsa! ikuti terus berita dari DetikFinance di Hape-mu.
Ketik REG FIN kirim ke 3845 (khusus pelanggan Indosat Rp.1300/hari)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Baca Juga :
Perancis Lirik Investasi KRL Padalarang-Cicalengka Bandung
6,6 Juta Lapangan Kerja Bisa Tersedot dari Investasi BUMN
BUMN Siap Gelontorkan Rp 836 Triliun untuk Biayai Pembangunan

February 28, 2011

Tol Sarangan-Benoa Bali Mulai Digarap April 2011

detikFinance » Ekonomi Bisnis

Minggu, 27/02/2011 14:44 WIB
Tol Sarangan-Benoa Bali Mulai Digarap April 2011
Suhendra – detikFinance

Jakarta – Tol Sarangan-Tanjung Benoa Bali direncanakan akan dimulai pengerjaannya pada bulan April 2011. Tol sepanjang 11,4 Km ini ditargetkan rampung sebelum APEC Summit pada pertengahan 2013.

Berdasarkan bahan menteri BUMN soal Peranan BUMN dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan yang diperoleh detikFinance, proyek senilai Rp 1,6 triliun ini bakal menyerap 5460 orang tenaga kerja.

Selain itu, disebutkan bahwa berdasarkan rencananya kendaraan motor atau roda dua akan dizinkan masuk dalam ruas tol ini. Hal ini akan tak jauh berbeda yang telah diterapkan di tol Suramadu sebagai benchmark-nya.

Dari sisi BUMN berdasarkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Nasional (MP3EN), pembangunan tol ini untuk menopang kegiatan pariwisata ke Bali. Tujuan pembangunan tol ini agar menambah akses tol ke Bandara Ngurah Rai dalam rangka mengantisipasi pengembangan bandara dan mengurangi kemacetan dari ke bandara Ngurah Rai.

Pengembangan tol ini mengkombinasikan pengusahaan jalan tol dengan pengembangan usaha non jalan tol. Yaitu antara lain pembuatan Pulau Marina dan Fishery dan Pelabuhan Kapal Pesiar di Benoa Bali.

Ruas tol yang dibangun melalui konsorsium 4 BUMN antaralain Jasa Marga, Pelindo III, Angkasa Pura I dan Bali Tourism Develpoptment Corporation (BTDC), kini memerlukan izin pembangunan dermaga dan tempat sandar kapal pesiar dari kementerian perhubungan, izin konservasi hutan Mangrove dari kementerian lingkungan hidup, dan izin pembangunan jalan tol dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum.

February 28, 2011

Laba BTPN Meningkat 99%

detikFinance » Bursa dan Valas

Senin, 28/02/2011 07:02 WIB
Laba BTPN Meningkat 99%
Herdaru Purnomo – detikFinance

Jakarta – PT Bank Tabungan Pensiunan Nasioal Tbk (BTPN) membukukan kenaikan laba bersih di 2010 sebesar Rp 836,8 miliar atau meningkat 99% dibandingkan periode yang sama tahun 2009 yang tercatat sebesar Rp 420,4 miliar.

Pertumbuhan laba tersebut ditopang oleh pertumbuhan kredit perseroan yang selama 2010 mencapai Rp 23,3 triliun atau tumbuh 48% dari tahun 2009 yang sebesar Rp 15,7 triliun. Pertumbuhan kredit itu ditopang rasio kredit bermasalah (NPL) di posisi 0,48%.

Direktur Utama BTPN, Jerry Ng mengatakan, di tahun 2011 BTPN tetap mengembangkan bisnis Pensiun dan UMK melalui penyaluran kredit dan program-program pemberdayaan dan pengembangan kapasitas.

“BTPN telah mempersiapkan modal yang cukup untuk menghadapi pertumbuhan bisnis di 2011 dengan Rasio kecukupan modal (CAR) BTPN per 31 Desember 2010 mencapai 23,40%,” ujar Jerry dalam siaran pers yang diterima detikFinance di Jakarta, Senin (28/2/2011).

Untuk dana pihak ketiga (DPK) dimana Per 31 Desember 2010, DPK mencapai Rp 25,5 triliun atau tumbuh 38% (yoy). Sementara itu, aset BTPN juga mengalami peningkatan signifikan, mencapai Rp 34,5 triliun atau meningkat 55% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu Rp 22,3 triliun.

Jerry memaparkan, BTPN masih konsisten mengembangkan bisnis di segmen mass market, dengan melayani para pensiunan dan pelaku Usaha Mikro & Kecil (UMK). Dikatakan Jerry, BTPN juga melakukan pemberdayaan yang mulai dikembangkan pada akhir 2008 lalu yakni pensiun Sehat & Sejahtera (PSS) dan Capacity to Grow (C2G).

“PSS bertujuan memberikan kesempatan bagi para nasabah Pensiunan untuk memenuhi keseluruhan elemen sehat dan sejahtera, terdiri dari 3 pilar program yaitu Pusat Informasi, Program Konsultasi, dan Peluang Usaha. Sementara C2G bertujuan meningkatkan kemampuan nasabah BTPN I mitra usaha rakyat (MUR) dalam mengelola usahanya melalui 3 pilar utama yaitu Pusat Informasi, Program Pelatihan, dan Peluang Usaha baru,” jelasnya.

(dru/qom)

February 27, 2011

Di Balik Kisruh Film Impor

Minggu,
27 Februari 2011
Di Balik Kisruh Film Impor
Ignatius Haryanto

Beberapa minggu yang lalu kita dikagetkan adanya pengumuman rencana penarikan film-film Hollywood di layar bioskop di Indonesia.

Motion Picture Association (MPA) merasa keberatan dengan pemberlakuan pajak impor film yang dipertinggi hingga 27 persen. Akibatnya, banyak pihak—terutama konsumen—merasa keberatan dengan rencana ini dan pemerintah pun sibuk mengklarifikasi.

Pemerintah berargumentasi bahwa pajak film impor adalah untuk meningkatkan produksi film Indonesia dan pihak lain—beberapa sineas—merasa bahwa kosongnya layar bioskop dari film-film Hollywood bisa dimanfaatkan oleh para sineas Indonesia untuk mengukuhkan film-film Indonesia di dalam negeri. Pertanyaannya, sedemikian mudahkah hal itu terjadi?

Ketidaksambungan logika

Tak pernah ada penjelasan yang cukup jelas dan rinci, dari mana logika bahwa pajak film impor akan otomatis memberikan dukungan dari pemerintah kepada film-film nasional.

Dari peta permasalahan soal film yang pernah ditulis oleh Budi Irawanto (2004), salah satu bentuk dukungan pemerintah yang sangat dinanti para sineas Indonesia adalah pembuatan sekolah-sekolah film, investasi dalam teknologi pemrosesan film, dan juga investasi agar ada perawatan dan pendokumentasianfilm-film Indonesia.

Di sini slogan lebih jadi panglima, ketimbang aksi nyata. Film dimasukkan dalam sektor industri kreatif Indonesia, tetapi nyatanya para sineas mengeluh bahwa mereka harus berjuang sendiri untuk menyelesaikan seluruh proses produksi film—termasuk cari investor—tanpa bantuan pemerintah sama sekali.

Kalaupun ada, bentuknya adalah lembaga sensor film yang tak jarang malah merugikan. Padahal, wacana tentang klasifikasi film—sebagai wacana alternatif sensor—sudah banyak disuarakan.

Jadi, bagaimana mau membangun industri kreatif yang patut disegani jika peran pemerintah membangun infrastruktur tidak dilakukan?

Melihat ancaman MPA, kita harus menganalisis dengan cukup jernih. Ini bukan pertama kali MPA punya ulah di Indonesia. Tak usah menyebut penentangan terhadap MPA pada zaman Soekarno ketika kantor mereka di Indonesia ditutup kala itu, tetapi cukup peristiwa 20 tahun lalu.

Di bawah kontrol Orde Baru yang seolah-olah mau melindungi budaya bangsa Indonesia, muncul kebijakan untuk membatasi jumlah judul film asing yang beredar di Indonesia, terutama film-film Amerika.

Awal dekade 1990-an, MPA yang makin ekspansif keberatan dengan kebijakan itu. MPA minta kelonggaran, bahkan pembatalan. Ketika pemerintah menolak, MPA balik mengancam: Pemerintah Amerika akan membalasnya dengan memblokade jalur ekspor tekstil dan plywood Indonesia ke Amerika. Pemerintah Indonesia akhirnya mengalah dan film Hollywood pun makin deras masuk Indonesia (Krishna Sen, 1994).

Inilah fenomena yang akan terkristal dengan munculnya lembaga perdagangan dunia, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Di luar itu, Pemerintah Amerika rajin menekan Indonesia untuk akses pasar yang lebih besar lewat perjanjian multilateral dan bilateral. Alhasil, memang film-film Hollywood seakan tanpa batas.

Janet Wasko, peneliti soal industri film di Amerika, pernah menyebut dalam bukunya How Hollywood Works (2003) bahwa ekspansi film-film Hollywood ke berbagai wilayah di dunia sudah terjadi sejak awal abad ke-20. Dominasi film-film Hollywood adalah gabungan faktor sejarah, ekonomi, politik, dan budaya sekaligus. Jangan lupa, diingatkan Wasko juga, bahwa industri hiburan adalah industri kedua hasil ekspor terbesar dari Amerika. Hasil penjualan film Amerika di luar negeri makin lama makin besar persentasenya, di samping makin meningkat angka penjualan riilnya.

Oleh karena itu, ”wajar” dan bisa diterima ”logika” bahwa Amerika dan lewat jejaring MPA-nya melakukan segala daya upaya untuk melawan atas setiap bentuk pembatasan atas akses pasar film mereka di mana pun. Inilah yang terjadi di Kanada, Perancis, Korea Selatan, Thailand, India, dan sejumlah tempat lain. Ini logika dagang semata: tak mau dibatasi, tak mau diatur, yang penting keuntungan mengalir deras.

Sisi Indonesia

Upaya Pemerintah Indonesia menaikkan pajak impor film bisa dilihat dari dua sisi. Satu, target yang dibebankan pada sektor film impor ini cukup tinggi yang mungkin terkait dengan target pemasukan dari pajak. Namun, di sini juga muncul pertanyaan, apakah angka 27 persen atas pajak tersebut sesuatu yang wajar? Dari mana munculnya angka itu? Butuh penjelasan lebih detail dari pihak pemerintah.

Kedua, salah satu argumen pemerintah menyatakan bahwa pemberlakuan tarif dimungkinkan sebagai suatu bentuk proteksi terhadap pasar film, yang dalam salah satu artikel kesepakatan WTO dimungkinkan. Dalam arti ini, niatan pemerintah mulia: memproteksi pasar perfilman dalam negeri.

Namun di sisi lain, muncul pertanyaan apakah ini strategi yang cerdas, mengingat langkah tak diikuti perencanaan sistematis untuk mengembangkan dunia perfilman menjadi industri kreatif yang maju dan mandiri.

Betulkah sineas Indonesia jadi lebih berpeluang dengan rencana mundurnya film Hollywood di layar kaca Indonesia? Belum tentu.

Kita tengok saja sejumlah permasalahan dalam produksi film Indonesia yang berbiaya rendah, teknologi kacangan, dan skenario yang tidak ada juntrungannya: membungkus cerita hantu dengan para artis seksi, atau cerita komedi yang masih slapstick. Apakah jenis film macam ini yang akan menjadi ”tuan rumah di negeri sendiri”? Mohon maaf, saya sendiri tak mau jadi tuan rumah untuk film macam itu.

Kembali pada uraian Budi Irawanto (2004), dalam setiap lini proses produksi film Indonesia menyimpan masalah. Masalah muncul mulai dari soal regulasi perfilman, soal kreativitas dan sensor, soal distribusi perfilman, sumber daya perfilman, apresiasi pada perfilman, hingga ke soal dokumentasi perfilman kita.

Jadi peta permasalahan sudah lama dijabarkan, tetapi apakah pihak-pihak yang tersebut di situ mengerjakan pekerjaan rumahnya atau tidak? Ini yang sebenarnya menjadi inti masalah.

Saya sendiri menduga tak mungkin film-film Hollywood betul-betul keluar dari pasar Indonesia karena bagaimanapun juga Indonesia pasti akan selalu dilihat sebagai pasar film Amerika yang besar. Namun, sudahkah kita juga cukup berdaulat sebagai konsumen? Di luar itu, sudahkah kita juga berdaulat sebagai produsen juga?

Jadi, menurut saya, ini hanya soal tarik ulur sementara dan akhirnya muncul kesepakatan dari kedua belah pihak—Pemerintah Indonesia dan MPA— untuk negosiasi yang baru. Sekali lagi ini bukan soal nasionalisme, melainkan lebih tepat sebagai urusan antara pedagang dan rentenir. Pedagang mau jualan, rentenir mau tarik pajak lebih tinggi. Sesederhana itu.

Ignatius Haryanto Peneliti Media dari LSPP, Jakarta; Pemerhati Soal Industri Kebudayaan

February 26, 2011

Pertamina Genjot Ekspor Avtur ke Maskapai Asing

detikFinance » Energi

Jumat, 25/02/2011 17:39 WIB
Pertamina Genjot Ekspor Avtur ke Maskapai Asing
Akhmad Nurismarsyah – detikFinance

Jakarta – PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya yaitu Pertamina Aviation menggenjot bisnis penjualan avtur ke luar negeri. Selama 2010 total penjualan avtur Pertamina mencapai 3,1 juta kiloliter (KL).

Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan penjualan avtur perseroan terus meningkat. Di 2006 penjualan avtur baru mencapai 2,4 juta KL, di 2007 sekitar 2,5 juta KL, di 2008 sebesar 2,6 juta KL, pada 2009 menjadi 2,8 juta KL, dan di 2010 mencapai 3,1 juta KL.

“Penjualan ini memberikan kontribusi profit yang cukup besar kepada perusahaan. Hal ini sebagai motivasi bagi Pertamina Aviation untuk terus mengembangkan bisnis aviasi baik di dalam maupun di luar negeri. Unit bisnis aviasi selain berkembang juga menunjukkan komitmennya terhadap kualitas, mutu dan layanan kepada pelanggan aviasi,” tutur Karen.

Menurut Karen, Pertamina Aviation memiliki kemampuan yang baik untuk berkompetisi di pasar internasional.

“Ini merupakan salah saktu bukti khususnya di bisnis aviasi, Pertamina Aviation memiliki kapabilitas dan kemampuan yang baik serta siap bersaing di kancah internasional,” katanya.

Karen mengatakan, Pertamina Aviation telah melakukan berbagai langkah dan terobosan sejak 2009 yang melakukan layanan penjualan avtur bagi maskapai penerbangan domestik dan juga luar negeri.

“Jangkauannya mencakup wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Asia Pasifik seperti Singapura, Malaysia (Kuala Lumpur), Thailand (Bangkok), UEA (Dubai), Arab Saudi (Jeddah), Hong Kong, dan Belanda (Amsterdam), serta beberapa okasi ad-hoc seperti China, Paris, Belgia, Jerman, Turki, Amerika Serikat dan beberapa wilayah lain,” tukasKaren.

February 26, 2011

PLN Bisa Hemat Rp 60 Triliun, Asal…

detikFinance » Energi

Jumat, 25/02/2011 19:36 WIB
PLN Bisa Hemat Rp 60 Triliun, Asal…
Akhmad Nurismarsyah – detikFinance

Jakarta – PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menilai jika pasokan gas bagi pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) milik perseroan bisa dipasok secara
maksimal, maka akan terjadi penghematan anggaran sebesar Rp 60 triliun.

Saat ini kebutuhan pasokan gas di perusahaan listrik tersebut mencapai angka 1800 juta kaki kubik perharinya (MMSCFD). Namun, alokasi
yang diberikan kepada PLN baru mencapai 800 juta kaki kubik perhari atau setara dengan 293 TBTU (Tera British Termal Unit).

Jika dihitung dari keseluruhan pembangkit yang dimiliki PLN, sebanyak 5223 unit, maka dari pembangkit yang ada hanya 22% yang menggunakan gas.

Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji memperkirakan bahwa ketika harga minyak dunia berada pada angka US$ 70 barel maka harga solar saat itu sebesar US$ 17 per juta kaki kubik. Sedangkan untuk harga gas hanya sebesar US$ 5 per juta kaki kubik maka selisihnya adalah US$ 12.

“Itu merupakan hitungan gambaran angka penghematannya. Kalau sekarang harga minyak sedang tinggi, maka penghematannya bisa lebih,” katanya.

Dikatakannya jika persediaan gas tercukupi maka penghematan yang dapat dicapai oleh PLN bisa mencapai Rp 60 triliun setahun.

“Permasalahan yang sekarang kan gasnya tidak ada. Jadi kita masih kurag sekitar 1000 MMSCFD. Sulit untuk mendapatkan pasokan gas sampai saat ini, masih ada juga yang di masalah FSRU (Floating Storage Refinery Unit), dan juga di beberapa lapangan gas-gas kecil lainnya,” tambahnya.

Menurutnya PLN terus berusaha untuk menambah pasokan gas. Misalnya, PLN sedang lakukan negosiasi harga untuk pembelian
listrik yang dihasilkan dari proses dewaterring gas CBM oleh Epindo.

“Dari dewaterring itu kan lebih banyak airnya daripada gas. Tapi daripada gas tersebut dibakar, maka itu kita minta untuk kita beli dalam bentuk listrik. Karena pihak mereka (Epindo) sudah bisa langsung diolah jadi listrik. Namun di situ kecil, karena dari proses dewaterring saja, paling hanya sekitar 1 MW. Namun kita minat untuk membelinya,” katanya.

Nur Pamudji juga mengatakan, bahwa pada April 2011 nanti PLN akan memperoleh tambahan pasokan gas sebesar 65 juta kaki kubik per hari dari Lapangan Jambi
Merang di perbatasan Sumatera Selatan dan Jambi. Rencananya pasokan tersebut akan didistribusikan ke pembangkit di pulau Jawa melalui pipa South Sumatera
West Java (SSWJ) yang dikelola PT PGN.

“Untuk pembayaran sesuai dengan kontrak, tapi fisik gasnya ditukar, karena pipa yang ke Merak sedang dibangun. Sekarang sih pakai ‘swap’, 65 juta kaki kubik per hari itu merupakan gas di Jambi Merang mengalir ke Jawa sambil menunggu selesainya pembangkit yang di Sumatera. Itu perlu waktu, jadi selama gas turbin dalam proses pemindahan, gas dari Merang mengalir ke Jawa,” jelasnya.

(nrs/hen)
.

February 26, 2011

Indonesia, Pertumbuhan Pesat Risiko Tinggi

Indonesia, Pertumbuhan Pesat Risiko Tinggi
Indonesia bertengger di nomor 32 negara dengan risiko tinggi pertumbuhan ekonomi.
SABTU, 26 FEBRUARI 2011, 07:18 WIB Arfi Bambani Amri
.

Maplecroft mengevaluasi 175 negara di dunia dengan 32 ‘risiko global’ yang bisa berdampak di kawasan dan sektor industri. Fokusnya pada tujuh “risiko global” yakni risiko makroekonomi, risiko keamanan, risiko pemerintahan, keamanan sumber daya, perubahan iklim, pandemi dan daya tahan masyarakat termasuk hak asasi manusia.

Dan posisi puncak negara paling berisiko alias risiko ekstrem adalah Somalia (1), Sudan (2), Afghanistan (3) dan Republik Demokrati Kongo (4) yang ditandai dengan pemerintahan lemah, konflik internal dan instabilitas kawasan.

Namun, beberapa negara dengan pertumbuhan positif ternyata masuk di jajaran risiko tinggi, mulai dari Nigeria (12), India (15, Filipina (17), Rusia (21) dan Indonesia (32). Filipina, Rusia dan India tinggi risiko globalnya karena faktor “risiko keamanan” yang tergolong ekstrem. Sementara Nigeria dan Indonesia “risiko tinggi” terkait risiko keamanan ini.

“Kunci untuk melihat pemahaman dan manajemen risiko global adalah melihat mereka saling terkait,” kata analis Maplecroft, Siobhan Tuohy. “Sebagai contoh, konflik dan risiko stabilitas rejim akan naik jika dipicu isu berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan keamanan makanan, seperti tampak di Timur Tengah saat ini.”

Hal menarik terjadi di Korea Selatan yang bertengger di jajaran 144 Atlas Risiko Global. Korea Selatan sebenarnya 10 besar negara yang gampang terkena bencana, namun kestabilan pemerintahan, situasi makroekonomi dan daya tahan penduduknya yang memiliki akses baik atas kesehatan dan pengetahuan, membuat rankingnya baik.
• VIVAnews