Senin,
28 Mei 2012
KAWASAN
Indonesia Diajak Berkiprah di Afrika
Pascal S Bin Saju
Benua Afrika tidak hanya terkenal dengan sepak bolanya. Di sini ada beragam sumber daya potensial bernilai ekonomis untuk kemaslahatan kita bersama. Beragam pula kekayaan budayanya. Mari kita ke Afrika!”
Lebih kurang begitulah ajakan Ketua Grup Duta Besar dan Korps Diplomat Afrika di Indonesia Alice Mageza dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (25/5). Duta Besar Zimbabwe itu hadir bersama beberapa duta besar, wakil duta besar, dan diplomat senior dari 10 negara Afrika.
Para duta besar, wakil duta besar, dan diplomat itu berasal dari Zimbabwe, Somalia, Sudan, Mesir, Maroko, Afrika Selatan, Mozambik, Aljazair, Tunisia, Libya, dan Nigeria, serta konsul Ceyhelles. Semua berbicara dengan optimistis tentang situasi dan kondisi riil Afrika.
Pertemuan yang diikuti jamuan malam di Hotel Grand Melia itu digelar terkait peringatan ke-49 Hari Afrika. Momen ini mengenang hari lahirnya Organisasi Persatuan Afrika (OAU)—kini berubah nama menjadi Uni Afrika (AU)—pada 25 Mei 1963 di Etiopia. Kali ini, Hari Afrika 2012 bertema Meningkatkan Perdagangan Intra-Afrika.
Peringatan hari Afrika tidak saja dilakukan para diplomat Afrika di Indonesia, tetapi juga di belahan lain dunia. Di Dublin, Irlandia, dan Los Angeles, Amerika Serikat, misalnya, Hari Afrika dirayakan dengan meriah dan beragam.
Tema yang diusung, ”Meningkatkan Perdagangan Intra-Afrika”, menurut Mageza sangat relevan. Tema itu selaras dengan pertumbuhan ekonomi Afrika yang signifikan pada 2011. Ekonomi negara Afrika tumbuh rata-rata 5-6 persen, bahkan tumbuh dua kali lipat di beberapa negara.
Optimistis
Hari Afrika merefleksikan aspirasi rakyat Afrika secara kolektif untuk membebaskan diri dari belenggu perbudakan kolonial. Kini, Hari Afrika diperingati untuk meningkatkan kesadaran politik di seluruh dunia agar lebih optimistis tentang kondisi nyata Afrika.
Bagi Afrika dan warganya, Hari Afrika adalah peringatan persamaan sejarah perbudakan dan kolonialisme, tanda berbagi warisan sejarah dan budaya, simbol persaudaraan dalam perjuangan untuk kemajuan dan perdamaian.
Poin terpenting dari Hari Afrika adalah sebagai momen untuk berefleksi. Afrika adalah benua yang kerap dipandang identik dengan kemiskinan yang melelahkan, kematian akibat kelaparan, laporan tentang kusutnya korupsi, tragedi perang saudara, dan perdagangan ilegal.
Menurut kaum pesimistis, tidak ada bayangan solusi atas wajah malang Afrika. Laporan terbaru tentang kudeta militer di Mali dan Guinea-Bissau, konflik lintas batas antara Sudan dan Sudan Selatan, dan perang saudara yang tak pernah berakhir di Kongo memperkokoh julukan benua yang terabaikan.
Belum lagi soal kelompok garis keras di Tanduk Afrika, yakni Al Shabab di Somalia dan Boko Haram di Nigeria, yang memberi citra buruk kawasan. Begitu pula dengan aksi perompak Somalia yang menggetarkan jalur perdagangan laut internasional di kawasan itu.
Para duta besar Afrika di Indonesia, yang diwakili 11 kedutaan, berusaha menjelaskan kepada publik Indonesia tentang sisi positif benua itu. Duta Besar Somalia Mohamud Olow Barow menegaskan, Somalia saat ini sudah mampu mengalahkan Al Shabab berkat bantuan tentara Uni Afrika.
Sumber daya alam di benua termiskin itu adalah tambang emas yang luas, yang tak pernah berhenti menggoda predator luar dan antek mereka di dalam kawasan. Afrika mengandung 99 persen cadangan krom dunia, 85 persen platinum, 70 persen tantalite, 68 persen kobalt, dan 54 persen emas. Belum lagi ladang minyak yang signifikan dan cadangan gas yang besar.
Benua ini juga mengandung uranium, mangan, intan, dan deposit bauksit dalam jumlah yang sangat tinggi. Kayu, rotan, dan kekayaan hutan lainnya menambah daya tarik. Termasuk cadangan besar air bawah tanah yang ditemukan di beberapa bagian benua kering itu.
Kini, Hari Afrika pantas dirayakan. Untuk merayakan keragaman dan kebersamaan, budaya dan identitas, sejarah dan warisan, prestasi dan keunggulan, serta potensi dan janji.
Kurang dari setengah abad silam, kecuali Etiopia dan Liberia, seluruh benua adalah wilayah kolonial. Masyarakatnya menjadi sasaran penghinaan dan pembunuhan yang disebabkan kekuatan asing, tapi ironisnya mengaku sebagai demokratis dan beradab. Asimilasi, perbedaan warna kulit , dan apartheid adalah contoh kejahatan mengerikan pemerintahan kolonial di Afrika.
Berkat keberanian tegas dan tekad yang mantap, ke-54 negara di benua itu mengibarkan bendera nasional mereka sendiri dan menyanyikan lagu kebangsaan nasional mereka hari ini. Jejak-jejak kolonialisme menjadi peluang yang relatif jauh lebih besar untuk memetakan penyebab kemajuan untuk dan oleh mereka sendiri.
Afrika menumbuhkan harapan. Antara tahun 2000 dan 2010 enam dari sepuluh negara yang paling cepat berkembang berada di Afrika, dan Angola tumbuh lebih cepat dari yang lain. Tingkat kemiskinan menurun sekitar 1 persen per tahun.
Kesempatan pendidikan telah diperluas dan lebih banyak anak perempuan di sekolah, seperti terjadi di Somalia. Barow mengaku Somalia adalah negara Afrika paling menjunjung hak perempuan. Mereka berkesempatan sekolah dan menduduki jabatan penting di pemerintah.
Tahun 2010 Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia. Bahkan, tak pernah terpikirkan ketika Angola mengalirkan uang minyak ke Portugal tahun 2011 untuk membantu negara bekas penjajahnya itu dari kehancuran ekonomi.
Pada Juli 2009 Presiden Amerika Serikat Barack Obama memilih Ghana sebagai ”anak emas” demokrasi, ditandai kunjungan beberapa bulan setelah menjabat. Namun, Ghana tidak sendirian dalam mengembangkan demokrasi dan pemerintahan yang baik di benua itu.
Pemilu bebas dan adil Senegal baru-baru ini direkam sebagai pesta demokrasi yang sukses. Botswana, negara terkorup di Afrika, menurut Transparansi Internasional, telah menjadi teladan demokrasi belakangan ini.
Hari Afrika telah menjadi fenomena global. Afrika diaspora dan mereka yang berbagi visi Afrika yang damai dan sejahtera telah membuatnya demikian. Barow berbicara tentang begitu gencarnya Jepang, Korea Selatan, India, dan China menerobos daerah investasi dan pasar potensial.
Adapun Indonesia, yang menjadi tempat terselenggaranya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, masih sebagai penonton. Para duta besar mengundang investor Indonesia, juga pemerintahnya hadir di Afrika. Investasi, nilai ekspor, dan impor Indonesia ke dan dari Afrika masih kecil dibandingkan empat negara Asia tadi.