JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi menetapkan lima kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi. Kebijakan itu berupa pembatasan dan pencabutan BBM bersubsidi serta pengoptimalan BBM nonsubsidi di wilayah tertentu.Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) akan memberlakukan kebijakan-kebijakan itu pada awal Agustus 2014. Kebijakan tersebut berlaku sampai muncul kebijakan baru tentang BBM bersubsidi.
Kepala BPH Migas Andy Noor- saman Someng, Rabu (30/7), di Jakarta, mengatakan, kebijakan pertama adalah solar bersubsidi di daerah Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali hanya boleh dijual pada pukul 08.00-18.00. PT Pertamina (Persero) telah diminta menentukan kluster-kluster yang akan memberlakukan kebijakan itu.
Kedua, pasokan BBM bersubsidi jenis premium di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di jalan tol akan dihentikan dan diganti dengan pertamax. Ketiga, pasokan solar bersubsidi di semua SPBU Jakarta Pusat akan dihentikan dan diganti dengan solar nonsubsidi atau pertamax dex.
”Langkah keempat, kami telah meminta Pertamina mengoptimalisasi produk pertamina dex khusus untuk kluster-kluster terpilih. Kluster-kluster itu nantinya akan ditentukan Pertamina,” kata Andy.
Adapun kebijakan kelima, pasokan solar bersubsidi bagi nelayan akan dikurangi volumenya sebanyak 20 persen dari pasokan normal. Solar bersubsidi itu juga hanya diperuntukkan bagi nelayan kecil pemilik kapal berbobot mati 30 gros ton ke bawah.
BPH Migas mengambil kebijakan itu karena solar bersubsidi di kawasan nelayan banyak yang tersedot ke kapal-kapal nelayan besar yang berada di bawah naungan perusahaan-perusahaan penangkap ikan. Mekanismenya nanti akan diatur Pertamina dengan pemerintah daerah.
”BPH Migas telah menandatangani surat edaran pada 24 Juli dan menyerahkannya kepada Pertamina. Untuk itu, kami meminta Pertamina segera menyosialisasikannya kepada pengusaha SPBU, pemerintah daerah, dan masyarakat umum,” ujar Andy.
Kuota berkurangKebijakan itu terkait dengan pengurangan kuota BBM bersubsidi pada tahun ini sebanyak 2 juta kiloliter (kl), dari 48 juta kl menjadi 46 juta kl. Dengan pola konsumsi BBM bersubsidi yang ada, diperkirakan kuota premium akan habis pada 19 Desember 2014 dan solar pada 30 November 2014 sehingga perlu pengendalian.
Secara terpisah, Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero) Hanung Budya mengemukakan, Pertamina telah menerima surat edaran itu dan akan melaksanakannya dengan konsisten. Dalam waktu dekat, Pertamina akan menyosialisasikan kebijakan-kebijakan itu kepada pemerintah daerah, pengusaha SPBU, dan masyarakat.
Masyarakat juga tidak perlu khawatir karena Pertamina menjamin tidak akan ada kelangkaan BBM. Pertamina akan menyiapkan ganti BBM bersubsidi dengan pertamax, pertamax dex, dan solar nonsubsidi.
”Pada Jumat (1/8), kami akan membahas kluster-kluster yang akan menerapkan kebijakan itu. Prioritasnya adalah di daerah-daerah dekat dengan pertambangan dan perkebunan, seperti Sumatera dan Kalimantan, serta wilayah tertentu yang diduga kerap terjadi kebocoran BBM subsidi, yaitu Batam,” kata Hanung.
Menurut dia, kawasan pertambangan dan perkebunan menjadi perhatian Pertamina karena di daerah itu kerap terjadi kasus-kasus penyelewengan solar bersubsidi. Solar bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat dan transportasi umum kerap diselewengkan untuk memenuhi kebutuhan operasional industri.
Khusus daerah-daerah yang infrastruktur pertamax-nya belum siap, terutama di luar Jawa, akan dipasok dengan premium dan solar nonsubsidi.
”Pertamina masih akan membahas penentuan harga premium dan solar nonsubsidi itu dengan pemerintah,” kata dia.
Sementara itu, penghentian pasokan solar bersubsidi di SPBU di Jakarta Pusat merupakan upaya pembelajaran bagi masyarakat ekonomi menengah ke atas. Secara ekonomi, mereka seharusnya mampu membeli BBM nonsubsidi, bukan justru mengonsumsi BBM bersubsidi.
Terkait dengan pengurangan kuota solar bersubsidi bagi nelayan, Hanung menambahkan, Pertamina akan segera berkoordinasi dengan satuan kerja perangkat daerah di daerah-daerah pesisir. Hal itu terkait dengan pengaturan secara teknis pembelian solar bersubsidi bagi kapal kecil sehingga benar-benar tepat sasaran.
Lemah koordinasiDirektur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner) Pri Agung Rakhmanto menilai, secara konseptual, kebijakan tersebut bagus, tetapi biasanya lemah pada koordinasi dan pelaksanaannya. Pasalnya, kebijakan tersebut dihasilkan secara instan. Muncul kebijakan pengurangan kuota BBM bersubsidi, maka dibuatlah kebijakan pembatasan dan pencabutan BBM bersubsidi di wilayah-wilayah tertentu.
”Waktu yang mepet dalam pelaksanaannya dibutuhkan koordinasi lintas lembaga dan instansi pemerintahan yang kuat. Sosialisasi kepada masyarakat sangat diperlukan dan jangan sampai kebijakan itu gagal terlaksana sehingga masyarakat menjadi skeptis,” kata dia.
Menurut Pri Agung, langkah pencabutan premium bersubsidi di semua SPBU jalan tol dan solar bersubsidi di semua SPBU Jakarta Pusat relatif mudah diberlakukan. Namun, untuk kebijakan pengurangan solar bersubsidi di wilayah nelayan dan pengaturan waktu pembelian solar bersubsidi, hal itu masih harus dimatangkan implementasinya.
Pengurangan solar bersubsidi di wilayah nelayan pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Namun, selama ini belum pernah ada evaluasinya, apakah benar yang membelinya nelayan kecil.
”Pelarangan pembelian solar bersubsidi bagi industri juga telah diberlakukan, tetapi lagi-lagi pengawasannya lemah sehingga masih ada solar bersubsidi yang diselewengkan,” ujar dia.
Pri Agung berharap, penentuan kluster-kluster yang akan menerapkan kebijakan itu dilakukan secara matang dan terukur. Misalnya, jangan sampai nantinya solar bersubsidi sulit didapat di SPBU-SPBU yang berada di jalur distribusi logistik.
Naikkan harga BBMKe depan, Pri Agung meminta pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Tolok ukur kenaikan harganya tetap mengacu pada inflasi dan neraca perdagangan yang diinginkan pemerintah.
Secara hitung-hitungan, sebenarnya masyarakat tahu subsidi BBM membebani keuangan negara, tetapi tinggal bagaimana kebijakan politisnya saja. ”Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintahan baru. Berani tidak menaikkan harga BBM,” kata dia.
Berdasarkan data BPH Migas, pada 2013 total anggaran subsidi BBM mencapai Rp 210 triliun. Dari jumlah itu, 92 persennya untuk transportasi darat.
Dari total subsidi yang terserap transportasi darat, 53 persennya dinikmati pemilik mobil pribadi. Berarti, lebih dari Rp 100 triliun subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas.
Dalam periode tiga tahun ini terjadi lonjakan konsumsi BBM bersubsidi sebesar 30 persen. Tahun 2010 konsumsi BBM bersubsidi 38,27 juta kl dan tahun 2013 sebesar 49,65 juta kl.
Peneliti pada Laboratorium Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengemukakan, pemerintah baru harus berani menaikkan harga BBM secara bertahap. Selama ini, subsidi BBM hanya dinikmati masyarakat ekonomi atas.
Harga BBM secara umum di sejumlah negara di Asia Tenggara pada 2013 sudah lebih tinggi daripada Indonesia. Harganya per liter di Singapura Rp 15.995, Vietnam Rp 14.553, Kamboja Rp 13.298, Thailand Rp 12.453, Laos Rp 13.396, dan Myanmar Rp 10.340. (HEN)