Selama ini perampasan aset didasari oleh keputusan politik saja.
++++
Sabtu,06 Agustus 2011
KORUPSI
Perlu UU Perampasan Aset
BANDUNG, KOMPAS – Chairuman Harahap, Ketua Komisi II DPR, mengusulkan untuk dibuat undang-undang mengenai perampasan aset sebagai pelengkap instrumen dalam memerangi korupsi di Indonesia. Pasalnya, perampasan aset saat ini belum berjalan efektif meski tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Hal itu diutarakan Chairuman dalam sidang promosi doktor di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jumat (5/8). Dia berhasil mempertahankan disertasinya dan lulus dengan hasil sangat memuaskan. Chairuman mengungkapkan, 10 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 8 triliun baru bisa dikembalikan Rp 8 miliar saja.
”Harusnya ada peraturan tersendiri mengenai perampasan aset dengan menyita harta koruptor bila dia tidak bisa membuktikan melalui asas pembuktian terbalik,” kata dia.
Dia menambahkan, bila tersangka korupsi itu melarikan diri, seluruh asetnya harus disita. Dengan demikian, kebijakan tersebut dapat membendung koruptor yang berlindung ke luar negeri. Proses tersebut dilakukan terpisah dari proses pidana yang berlangsung di pengadilan.
Menurut dia, perampasan aset yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak efisien karena ketentuannya masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang membutuhkan waktu dan biaya yang sangat tinggi sehingga kerugian negara tidak bisa diselamatkan secara optimal. Konsep perampasan aset dalam undang-undang tersebut juga belum dirumuskan secara komprehensif sehingga sulit diterapkan.
Sementara itu, terkait lembaga pemberantasan korupsi, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang ditemui dalam acara tersebut mengatakan akan menyerahkan proses seleksi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi kepada DPR. ”Saya menyerahkan kepada kader Golkar di Komisi 3 untuk memilih yang terbaik,” katanya. (ELD)