Investor daily 30 July 2012
Oleh Novy Lumanauw dan Alina Musta’idah
JAKARTA – Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera
mendistribusikan lahan telantar seluas 13 ribu ha kepada
petani, sebagai bagian program reformasi agraria. Lahan itu
bagian dari 7,2 juta ha lahan terindikasi dan potensi telantar
yang status hukumnya sudah clear and clean.
Kepala BPN Hendarman Supandji menjelaskan,
land reform atau reformasi agraria sebenarnya
sudah dijalankan pemerintah. Yang
belum direalisasikan adalah pembagian tanah
telantar untuk petani. “Nah, tanah yang
indikasi dan potensi telantar ada sekitar 7,2
juta ha. Ini masih potensi, belum dinyatakan
telantar. Yang punya potensi telantar 4,8 juta
ha. Apakah ini sudah didistribusikan kepada
petani? Belum,” ujar Hendarman kepada Investor
Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.
Pada 2012, BPN sudah memetakan lebih kurang
149.000 bidang tanah untuk diredistribusikan
kepada para petani dan meliputi
luas sekitar 179.000 ha. BPN sudah menyatakan
lahan telantar seluas 37 ribu ha yang terdiri
atas 19 surat keputusan. Dari jumlah itu
ada enam surat keputusan yang digugat. “Jadi
masih ada sisa yang tidak digugat yaitu 13 ribu
ha. Ini rencananya akan kami redistribusikan
kepada rakyat,” tutur Hendarman.
Pada 2013, Hendarman menyatakan sudah
memiliki jadwal yang lebih besar dari tahun
ini. Semua jajaran BPN bertekad untuk
melaksanakan redistribusi tanah.
Dia mengakui, lahan 13 ribu ha itu belum tentu
cocok untuk tanaman pangan seperti kedelai,
padi, jagung, atau pun tebu. Untuk itu, pihaknya
bersama menteri pertanian sedang
menginventarisasi lahan tersebut. “Kemudian,
kalau itu baik untuk tanaman pangan, bagaimana
rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang
ada di kabupaten atau provinsi itu,” kata dia.
Selain itu, kata dia, BPN belum bisa mendistribusikan
lahan ke petani karena payung
hukum yang secara jelas mengatur distribusi
lahan belum ada. “Sekarang dalam proses,
dulu memang pernah ada tetapi belum ada
keputusan politik dari pemerintah,” ujarnya.
Namun, menurut Hendarman, konsep reformasi
agraria yang ditawarkan pemerintah adalah
menggunakan sistem kemitraan inti-plasma.
Setiap petani akan mendapat lahan dua
hektare (ha). “Ini masih dalam proses diskusi.
Tapi tujuannya supaya petani sejahtera. Tanah
diberikan kepada petani, petani bisa menguasai,
tetapi pupuk dan distribusinya diserahkan
kepada inti,” papar dia.
Pemerintah juga akan memfasilitasi akses
petani terhadap sumber pendanaan, seperti
bank dan koperasi. “Pendekatan bank selama
ini hanya kepada usaha kecil menengah
(UKM), kepada petani kan belum,” kata
Hendarman.
Selain petani, menurut dia, pemerintah memprioritaskan
industri kecil untuk memperoleh
lahan. “Saya sudah menandatangani MoU.
UKM diberikan tanah dan dibiayai,” tuturnya.
Hendarman menjelaskan, reformasi agraria
adalah pendistribusian tanah kepada rakyat
khususnya petani, kemudian dimanfaatkan
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Tanah itu tidak boleh dijual. Tanah harus
dimanfaatkan sampai kakek nenek,” tuturnya.
Yang sedang diprioritaskan pemerintah saat
ini, menurut dia, land reform untuk tanah telantar.
Pelaksanaan land reform tersebut mengacu
pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
24 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono menambahkan,
Kementerian Pertanian dan BPN
berkomitmen dalam satu bulan mendatang
untuk menyisir lahan telantar 13 ribu ha yang
bisa dimanfaatkan untuk para petani. “Empat
hari yang lalu saya bertemu dengan kepala
BPN untuk mencari solusi lahan yang dapat
dimanfaatkan para petani,” kata dia.
Bersama BPN, menurut Mentan, pihaknya
juga mendiskusikan soal hak guna usaha
(HGU) para pemilik tanah telantar dan soal
pola inti-plasma dalam pelaksanaan reformasi
agraria.
Kuasai 87% Lahan Pertanian
Sumber Investor Daily di pemerintahan
menyatakan, saat ini ada 13% pemilik lahan
yang menguasai 87% dari total lahan yang
berpotensi untuk pertanian. Pemilik lahan
tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar
di bawah grup Sinarmas, Murdaya, dan Bakrie
dengan modal kuat. “Kalau rakyat mau buka
kebun 10 ha susahnya bukan main. Kalau
mereka 10 ribu ha nggak masalah,” kata dia.
Menurut dia, perusahaan-perusahaan yang
sudah memegang hak guna usaha (HGU)
tersebut menguasai lahan untuk perkebunan
atau mereka sudah mengetahui potensi yang
ada di bawahnya yaitu tambang.
Jika tidak dimanfaatkan, lahanlahan
tersebut umumnya digunakan
sebagai land bank. “Pemerintah
seharusnya mengambil alih lahan
tersebut,” ujar dia.
Praktik yang paling parah adalah
saat HGU habis karena pihak yang
mengetahuinya adalah BPN. Jika
masyarakat mengetahui HGU, misal
milik PTPN sudah habis, bisa terjadi
penyerobotan. Untuk itu, PTPN
menservis BPN agar saat HGU habis,
informasi tersebut tidak sampai
keluar. “Kalau sampai ada penyerobotan,
berarti ada oknum yang juga
punya kepentingan dengan HGU
tersebut,” papar sumber tersebut.
Menurut dia, perusahaan swasta
juga melakukan permainan dalam
memperoleh HGU. Mereka tidak
hanya menyuap pejabat BPN, tetapi
juga bupati dan dinas kehutanan.
Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) memperkirakan, saat ini ada
lebih 25 juta ha lahan dikuasai pemegang
Hak Pengusahaan Hutan
(HPH), 8 juta ha dikuasai investor
hutan tanaman industri (HTI), dan
12 juta ha dikuasai perkebunan besar
sawit. Sementara itu, 85% petani
RI merupakan petani gurem yang
memiliki lahan sangat sempit.
Deputi Sekjen Bidang Kajian dan
Kampanye KPA Iwan Nurdin menilai,
pelaksanaan reformasi agraria di
Indonesia berjalan lambat karena
tidak ada komitmen dari pemerintah.
“Seharusnya setelah pada level
discourse, presiden harus menurunkannya
pada level aksi,” ujar dia.
Presiden bisa langsung mengoordinasikan
para menteri dan badan
terkait untuk menyiapkan payung hukum,
apakah peraturan pemerintah
(PP) maupun perpres tentang mekanisme
pelaksanaan reforma agraria.
“Presiden bisa mengumpulkan
menteri kehutanan, kepala BPN, menteri
pertanian, kementerian PU, dan
menteri dalam negeri untuk membahas
masalah tersebut,” ujar Iwan.
Sebab, menurut Iwan, reformasi
agraria tidak sekadar program bagibagi
tanah kepada petani. Tapi redistribusi
tanah yang diikuti dengan
penyiapan lahan dan irigasi,
penyediaan benih, pasar, serta akses
terhadap kredit. “Kalau hanya redistribusi
lahan, petani akan menjual
lahannya dan akhirnya mereka tetap
tidak sejahtera. Sebab itu, kita lebih
sebut land reform plus,” ucap dia.
Menurut Iwan, pemerintah saat ini
sebenarnya sudah menerbitkan PP
No 36/198 dan PP No 11/2011 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan
Kawasan Lingkar Barat
Sementara itu, fly over Rawa
Buaya panjangnya 929,56 m. Jalan
layang itu merupakan akses alternatif
yang menghubungkan Bandara
Internasional Soekarno-
Hatta, dengan wilayah Jalan Daan
Mogot ke arah Tangerang dan
sebaliknya.
Dirjen Bina Marga Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) Djoko Murjanto
mengatakan, pembangunan
jalan layang tersebut diharapkan
bisa mengurai kemacetan di kawasan
Lingkar Barat Jakarta. Konstruksi
jembatan itu yang mulai dibangun
Oktober 2010 itu selesai Juni
2012 dan mulai dioperasikan Juli.
Proyek itu digarap kontraktor
nasional PT Jaya Konstruksi MP
dan pengawas PT Kerabat Inti Pratama.
Proyek senilai Rp 139, 65
miliar itu dikerjakan selama 600 hari
dan masa pemeliharaan 720 hari.
Lahan Telantar. Setelah itu masuk
fase notifikasi lahan telantar dan
akhirnya pemerintah menetapkan
suatu tanah sebagai tanah telantar.
“Ketika sudah ditetapkan sebagai
tanah telantar, status hukum dan hakhak
pemilik lama dicabut,” tuturnya.
Masalahnya saat ini, kata Iwan, para
pemilik lahan telantar itu mengajukan
gugatan balik ke BPN, setelah badan
tersebut menetapkan suatu lahan
sebagai lahan telantar. Sebab itu, luas
lahan telantar dilaporkan BPN
berbeda-beda tiap tahun. “Tahun
2011, dilaporkan ada 850 ribu ha, sekarang
120 ribu ha,” tuturnya.
Di samping tanah telantar, menurut
Iwan, sebenarnya pemerintah
memiliki tanah negara bebas yang
luasnya mencapai ratusan juta ha.
Namun, tanah-tanah tersebut saat
ini masih dibebani oleh izin-izin usaha
baik untuk HTI atau HPH.
“Ketika ada rakyat ingin menguasai
tanah itu, pemerintah tidak memperkuat
dengan sertifikat, tapi malah
mengusirnya. Ini yang banyak
memicu sengketa lahan,” tuturnya .
Menurut Iwan, luas tanah negara
yang bebas di Jawa saja saat ini ada
600 ribu ha yang dikuasai oleh PT
Perkebunan Negara (PTPN) dan 2,7
juta ha dikuasai oleh Perhutani. Bila
pemerintah memiliki komitmen terhadap
reformasi agraria, lahan-lahan
tersebut bisa dikelola oleh buruh
tani, sedangkan BUMN diarahkan
pada industri pengolah hasil
pertanian petani.
Iwan juga menyoroti pengembangan
kawasan perkebunan tanaman
pangan berskala luas (food estate)
yang pelaku utamanya adalah korporasi,
bukan petani. Terlebih lagi,
jika investor food estate adalah asing
yang sengaja mencari lahan pertanian
untuk memperkuat cadangan
pangan dalam negeri mereka. “Itu
harus kita tolak,” tuturnya.
Untuk mendorong peningkatan
produksi pangan dalam negeri, pemerintah
tidak perlu mengembangkan
food estate, tapi cukup menyediakan
lahan untuk petani dengan
infrastruktur. Mereka juga perlu
difasilitasi kredit murah.
“Kalau tujuan food estate untuk
alih teknologi, tidak ada transfer teknologi
tinggi di dunia pertanian,”
ujar Iwan.
Pemerintah perlu mencontoh reformasi
agraria yang berhasil dilakukan
di Jepang dan Korsel, yang
kemudian ditiru oleh Tiongkok dan
Vietnam. (m01/na)
++++++++++++++++++++
Sudah ditagih sekian lama.., kelihatannya masih akan sulit terwujud
Investor daily 30 Juli 2012
Menagih Janji Reforma Agraria
Oleh Lilis Mulyani*
Reforma agraria menjadi
salah satu misi
Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono yang
dijalankan sejak tahun 2007.
Hal itu dinyatakan dalam
pidato awal tahun Presiden
SBY pada 31 Januari 2007,
diulang lagi dalam pidato peringatan
50 tahun Undang-
Undang Pokok Agraria
(UUPA) pada 21 Oktober 2010, serta pada
sejumlah kesempatan lainnya.
Keinginan dan komitmen ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa laju ketimpangan
penguasaan lahan di Indonesia
memang semakin mengkhawatirkan. Sensus
Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS)
tentang luas penguasaan lahan selama
periode 1983 – 2003 menunjukkan, petani
gurem memiliki lahan kurang dari 0,50
hektare. Di sisi lain, jumlah dan luasan perkebunan
besar justru semakin meningkat,
demikian juga pemilikan lahan oleh
perorangan baik dalam rangka investasi
maupun dalam rangka spekulasi.
Ketimpangan ini sangat berisiko karena
bisa menimbulkan kerawanan sosial baru.
Pada 1998 hingga 2000-an, tak sedikit kasus
masyarakat lokal yang mengokupansi tanahtanah
telantar maupun produktif,
baik milik perorangan,
swasta ataupun perusahaan-
perusahaan perkebunan
dan kehutanan di sekitar
tempat tinggal mereka.
Rakyat terpaksa menggarap
tanah-tanah yang secara legal-
formal bukan milik
mereka karena terdorong
oleh pemenuhan kebutuhan
pangan yang saat itu terlalu
mahal untuk dibeli.
Meskipun demikian, kita
tidak bisa melihat kasus-kasus tersebut
peristiwa yang berdiri sendiri. Konflik
pertanahan harus ditempatkan dalam
rangkaian kejadian yang riwayatnya perlu
ditelusuri jauh ke belakang. Sejarah
pengambilalihan tanah dalam konflik
agraria di Indonesia memang terkait erat
dengan sejarah penerapan kebijakan yang
tidak pernah berpihak pada rakyat. Implementasi
kebijakan selalu saja menyimpang
dan itulah yang menyebabkan rakyat selalu
terusir dari tanah-tanah mereka.
Karena itulah, visi dan misi Presiden SBY
tentang Reforma Agraria menjadi tonggak
penting dalam perkembangan sejarah
agraria di Indonesia.
Setelah sekian lama isu land reform atau reforma
agraria dipetieskan di era Orde Baru, wacana
ini kembali muncul, meskipun hanya dalam
bentuk sebuah program, yaitu Reforma Agraria.
Bukan Bagi-bagi Tanah
Reforma Agraria merupakan salah satu upaya
yang dilakukan untuk mengurangi ketimpangan
penguasaan lahan dan meningkatkan
akses masyarakat miskin pada lahan. Inti program
Reforma Agraria adalah redistribusi tanah
dan juga kepastian penguasaan hak atas
tanah. Disebut sebagai program lintas sektoral,
karena objek tanah Reforma Agraria tidak hanya
tanah-tanah di bawah yuridiksi Badan Pertanahan
Nasional (BPN), seperti tanah yang
hak guna usaha (HGU), tapi juga tanah-tanah
yang ada di dalam pengelolaan Kementerian
Kehutanan, seperti tanah eks-HPH yang habis
masa berlakunya (tanah hutan konversi).
Dalam Rencana Strategis BPN tahun 2010
disebutkan bahwa BPN telah ‘berhasil’ meredistribusi
tanah seluas 367.701 hektare lahan
kepada 72.991 kepala keluarga. Namun, hasil
penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI, 2011) menemukan, sebagian besar
tanah yang berhasil disertifikasi melalui
skema program Reforma Agraria banyak pula
yang merupakan Tanah Obyek Landreform
(TOL) yang telah ditetapkan sejak 1960 –1980-
an. Ada juga tanah-tanah eks-konflik yang
telah berhasil dimediasi. Jadi, tanah-tanah itu
sebagian besarnya memang telah dikuasai oleh
masyarakat penerima manfaat.
Namun, kita tentunya juga tidak bisa mengecilkan
prestasi BPN dalam redistribusi
tanah. Dibandingkan dengan periode-periode
sebelumnya, BPN telah berhasil meningkatkan
secara signifikan jumlah penerima redistribusi
tanah, yaitu dari sebanyak 34.195 kepala
keluarga selama 1961-2004 (43 tahun);
menjadi 72.991 hanya dalam kurun waktu
2005-2008 (3 tahun).
Hanya harus diingat bahwa Reforma Agraria
bukan semata-mata bertujuan membagibagi
tanah kemudian melegalisasinya melalui
proses sertifikasi. Jika hanya itu yang dilakukan,
kemungkinan tanah-tanah ini dijual kembali
kepada pengumpul tanah dan mereka
akan semakin kuat. Ini pada akhirnya hanya
akan memunculkan tuan-tuan tanah baru.
Hal yang justru jauh lebih penting adalah
membangun keterikatan penerima program
dengan tanahnya sebagai sumber penghidupan
yang utama.
Pada awalnya, program Reforma Agraria ini
dirancang sebagai sebuah kombinasi penerapan
konsep reformasi aset ala Hernando de
Soto (2000) dan reformasi akses ala Amartya
Sen (1999). Jadi Reforma Agraria tidak sekadar
meredistribusi tanah, dan melegalisasinya
sebagaimana konsep yang dipopulerkan oleh
Hernando de Soto. Program ini harus juga
bisa membuka akses masyarakat penerima
dan masyarakat sekitarnya pada sistem ekonomi
yang lebih luas dalam rangka meningkatkan
produktivitas mereka. Hal ini bisa dilakukan
dengan membuka akses melalui pembangunan
infrastruktur yang memadai, juga
dengan membuka akses modal dan pasar.
Paradoks Kebijakan Ekonomi
Menjalankan Reforma Agraria dalam
kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidaklah
mudah. Kebijakan pembangunan ekonomi
saat ini secara eksplisit lebih memihak perkebunan
besar, pembangunan infrastruktur besar-
besaran, budidaya agrikultur besar-besaran,
serta bentuk-bentuk pembangunan ekonomi
yang “rakus lahan”. Reforma Agraria pada
akhirnya bagaikan sebuah paradoks di dalam
arah kebijakan ekonomi Indonesia saat ini.
Beberapa permasalahan juga diindikasikan
menjadi penghambat utama terlaksananya
Reforma Agraria. Ini bisa kita lihat, apakah Kementerian
Kehutanan telah bersedia melepaskan
hutan produksi yang dapat dikonversi
(HPKv) seluas sekitar 8,15 juta hektare di 17
provinsi? Atau, apakah pemegang hak di tanahtanah
yang telantar seluas sekitar 7,3 juta hektare
di seluruh wilayah Indonesia akan dengan
begitu saja melepaskan tanahnya tanpa menggugat
kebijakan BPN yang telah memberikan
hak kemudian mengambilnya kembali?
Lalu, mekanisme apa yang harus ditempuh
untuk melepaskan hak-hak tersebut tanpa merugikan
pemegang hak? Pertanyaan-pertanyaan
ini seolah menandai kegamangan BPN selaku
institusi pelaksana dan pemerintahan SBY sendiri
dalam melaksanakan Reforma Agraria.
Wacana resistensi sektor-sektor terkait juga
diindikasikan menguat, khususnya ketika
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma
Agraria yang telah disusun sejak tahun
2010 belum juga jelas nasibnya hingga kini.
Saat ini, praktis aturan yang dijadikan dasar
pelaksanaan Reforma Agraria adalah TAP
MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
UUPA Tahun 1960.
Ada juga beberapa aturan pelaksana
UUPA, seperti PP No 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian
Ganti Kerugian. Dari sisi logika hukum
terjadi kerancuan karena konteks kelembagaan
maupun arah kebijakan pembangunan
ekonomi tahun 1960-an sangat jauh berbeda
dengan kondisi Indonesia saat ini.
Reforma Agraria saat ini baru merupakan
janji yang implementasinya masih dilakukan
secara sporadis. Pada level negara, meskipun
political will dan political commitment cukup
tinggi, political power untuk program ini terbukti
masih mandul.
Seandainya hendak dijadikan sebuah agenda
nasional yang berkesinambungan, Reforma
Agraria bisa menjadi salah satu jawaban
untuk mencegah dan menangani konflik
agraria. Ini sekaligus menjamin kepastian
pengusahaan lahan oleh para investor. Sayangnya,
kita masih harus menunggu, padahal
masa pemerintahan Presiden SBY dua tahun
lagi berakhir. Kita tidak tahu apakah pemerintahan
selanjutnya akan memiliki perhatian
yang sama pada Reforma Agraria. q
Lilis Mulyani, peneliti bidang hukum pada
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
(PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)