Menyebut Nilai Tebusan Itu Skenario Perompak
Koran Tempo 8 Mei 2011
Saat ini ada 40 kapal yang masih disandera. Apa pun yang kami utarakan akan mempengaruhi bargaining position mereka. Jadi itulah satu kode etik dari kita, sebaiknya tidak meng ungkapkannya
Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto KOMISARIS UTAMA PT SAMUDERA INDONESIA:
Sebanyak 20 keluarga awak kapal MV Sinar Kudus, yang disandera perompak Somalia, se jak 16 Maret lalu melakukan sujud syukur. Selama 46 hari mereka menanti hari pembebasan keluarga mereka.
Awak kapal dibebaskan pada 1 Mei lalu, setelah pemilik kapal, PT Samudera Indonesia, membayar uang tebusan yang besarnya dirahasiakan untuk menjaga kode etik.
Komisaris Utama PT Samudera Indonesia Tbk Shanti Lasminingsih Poesposoetjipto menjelaskan, perompakan yang menimpa kapal Indonesia baru sekali ini terjadi. Presiden Direktur PT Ngrumat Bondo Utomo–induk bisnis keluarga Soedarpo yang menguasai saham mayoritas di PT Samudera Indonesia Tbk–ini merasa tenang menempuh proses negosiasi.
“Pada hari pertama, kami langsung bikin crisis management center di Kota (kantor PT Samudera Indonesia Ship Management di kawasan Kota, Jakarta) dan membuat satu skenario (pembebasan) dari yang optimistis sampai pesimistis,” kata perempuan 63 tahun ini.
Perempuan penyuka olahraga panjat gunung itu menampik tudingan perusahaan dan pemerintah bersikap lamban dalam membebaskan sandera. Dia pun menampik menjawab soal nilai tebusan yang disepakati dan proses pembayarannya.
“Saat ini ada 40 kapal yang masih disandera.Apa pun yang kami utarakan akan mempengaruhi bargaining position mereka. Jadi itulah satu kode etik dari kita, sebaiknya tidak mengungkapkannya,” katanya kepada Istiqomatul Hayati, Amirullah, Tito Sianipar, dan fotografer Arnold Simanjuntak dari Tempo pada Selasa lalu di kantornya di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Selama hampir tiga jam, putri sulung pengusaha dan juru runding Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo, itu menceritakan upaya pembebasan dan kehidupan keluarganya yang menarik. Sepanjang bercerita, ia selalu tersenyum dan terkadang diselingi tawanya yang renyah.
Kapan perusahaan mengetahui penyanderaan MV Sinar Kudus oleh perompak Somalia?
Kami menjadi anggota International Maritime Association, tentu punya alat komunikasi yang built-in di kapal. Jadi kami bisa mengikuti jalannya kapal dari pusat via satelit, semacam global positioning system.
Ketika kapal dikuasai perompak, dia (awak) sempat menekan tombol tanda darurat. Dan sebetulnya, sebelum itu sudah ada komunikasi, peringatanperingatan memasuki daerah yang rawan. Entah kenapa tetap masuk ke daerah itu.
Kami sudah tahu perilaku perompak di daerah tersebut seperti apa. Jadi pada hari pertama itu, tim kami langsung bikin crisis management center.
Jadi ada optimistic scenario sampai pessimistic scenarionya. Bahkan pernah ada satu kejadian, kapal Taiwan, tapi ada awak Indonesianya, waktu itu minta bantuan Gus Dur saat masih jadi presiden. Nah, kebetulan kelompok Islam (penyandera) itu mengenal Nahdlatul Ulama. Jadi Gus Dur telepon, dia dengar. Dan bebas.
Menggunakan pendekatan itu juga dalam kasus ini?
Kami coba. Kami minta bantuan Pak Hasyim Muzadi. Pak Hasyim juga jawabnya begitu, “Saya harus cari tahu dulu, atau kalau kalian bisa kasih tahu, kelompok mana itu?” Dalam kontak pertama sudah menyampaikan tuntutan?
Belum. Biasanya, kalau mereka mau keluarkan tuntutannya, mereka kasih kesempatan sama awak untuk berhubungan dengan keluarganya. Mereka akan menginformasikan kepada keluarganya hal yang negatif untuk memprovokasi. Kenyataannya, mereka tidak akan memperlakukan kru semena-mena.
Karena mereka sudah tahu, satu-satunya leverage (pengungkit) mereka adalah kru yang bisa dijadikan bargaining position (posisi tawar), yang bisa dimainkan dengan emosi juga. Itu pun sudah kami ketahui.
Apa tindakan yang dilakukan setelah itu?
Jadi nomor satu yang kami lakukan menghubungi keluarga awak sebelum semua media sampai tahu.Jadi 20 awak,20 keluarga dihubungi satu per satu.
Memprakondisikan dan menjelaskan keadaannya. Dan ketika satu minggu mau jatuh tempo, kami panggil lagi mereka.
Pada awalnya mereka minta berapa? Cuma ratusan ribu dolar hingga meningkat menjadi US$ 4,5 juta?
Saya minta pengertian Anda, kami tidak akan membuka berapa itu (nilai nominalnya), karena sampai saat ini ada 40 ka pal lho yang di bawah penyanderaan mereka dan ada 600 awak kapal. Di antara itu ada juga awak kapal Indonesia. Se hingga apa pun yang kami utarakan, akan mempenga ruhi bargaining position me reka. Jadi itulah satu kode etik dari kita, sebaiknya ti dak mengungkapkannya.
Tapi kemudian tersebar di media jumlahnya Rp 38 miliar?
Itu bisa saja salah satu move dari perompak itu. Jadi taktik yang dilakukan mereka waktu itu, ya, seperti menyebutkan jumlah nominal tebusan yang besar. Peralatan mereka lengkap dan modern sekali. Jadi setiap pemberitaan di sini, bisa mereka tangkap. Itu bagian dari skenario bargaining position mereka.
Sebelumnya sudah berapa kali Samudera Indonesia mengalami perompakan? Oh, enggak ada.
Bagaimana komunitas maritim memahami perompak Somalia itu? Ini jangan dianggap (organisasi) ecek-ecekan, tapi ini satu business exercise. Ini bukan orang Somalia saja, ini satu sindikasi internasional. Okelah, perompaknya orang Somalia. Ini semacam bisnis baru.
Proses negosiasi bagaimana? Siapa yang diutus? Pola mereka itu sudah satu sindikasi internasional, ada pengacara dan negosiator internasional, ada perusahaan dispatching (pengirim pesan) internasional yang hari pertama sudah menghubungi kami. Jadi itu organized crime (kriminalitas terorganisasi). Maka kami tidak bisa gegabah.
Yang melakukan negosiasi itu
siapa? Yang bernegosiasi itu tetap pemilik kapal, Samudera Indonesia. Berhubungan dengan perompaknya by phone.
Keputusan melakukan proses pembayaran kapan? Apa dengan pertemuan? Enggak ada pertemuan. Dan setelah disepakati kedua belah pihak, kan harus dilakukan
mobilisasi. Sebab, kalau kita mengeluarkan dana saja dalam jumlah yang cukup tinggi, tiap negara yang kita lalui itu mempunyai aturan sendiri. Apakah itu tunai, ataukah transfer elektronik, tetap saja ada ketentuan dari bank sentral masing-masing.
Pembayaran tebusan berupa uang tunai? Enggak bisa juga kami sebutkan.
Bagaimana proses serah-terima? Itu terjadi dengan mereka mengatakan sudah terima uangnya.
Lalu mobilisasi orang kami di atas kapal juga memakan waktu.
Jadi dari uang itu dikemas sampai perompak yang ada di kapal kami meninggalkan kapal tersebut kira-kira 24 jam. Karena mereka berkelompok, ada yang turun di satu titik, ada yang dijemput, macam-macam.
Apakah setiap kapal Indonesia akan dikawal TNI? Bergantung pada inisiatif masing-masing pemilik kapal dan pemilik barang. Ada kapal kami yang dikonvoi.
Bagaimana Anda menangani keluarga awak kapal? Dari 20 kan ada tiga yang Anda lihat selalu ribut (di media).
Dan itu juga sengaja diprovokasi para perompaknya. Itu risiko, kami harus hadapi saja. Saya telepon semua pemimpin media massa, saya terangin.“Tolong, deh, tolong jangan masuk perangkap mereka.” Itu memang maunya mereka, ada liputan. Karena itu memperkuat posisi mereka.
Apa yang dilakukan untuk menenangkan keluarga? Saya minta bantuan ibu-ibu karyawan. Kami kan ada asosiasi Perwasi (Persatuan Wanita Samudera Indonesia). Saya minta diadakan pendekatan rohaniahlah. Diajak sama-sama tahajud.
Karena kan all we can do is pray.
Waktu Jumat pertama itu terjadi, mereka sembahyang bersama.
Anda terlibat secara langsung dalam masalah pembebasan ini? Saya kan komisaris utama. Ada manajemen yang tanggung jawab, dong. Saya hanya turun di mana saya punya nilai tambah, misalnya waktu itu hubungan dengan media. Misalnya, waktu itu saya kenal semua chief editor, saya turun.
Untuk menghindari perompakan terjadi lagi, apa antisipasi Samudera Indonesia (SI)? Mungkin kami akan berkonsultasi dengan pemerintah. Apakah pemerintah akan membantu mengamankan kapal-kapal Indonesia yang berlayar ke arah situ.
Tentunya kami juga berikan pelatihan kepada awak kapal, dan standard operating procedure diperketat.
Peristiwa ini mempengaruhi harga saham SI? Enggak. Karena kebanyakan pemegang saham kami itu setia (tertawa).
Nilai aset SI berapa, sih? Rp 5 triliun. Tapi kan kami bukan hanya perusahaan pelayaran.
Ada pelayaran internasional, kontainer itu pusatnya di Singapura.
Kami punya gudang di Dubai.
Berapa kapal yang dimiliki PT Samudera Indonesia? Ada 30 kapal.Tapi ini milik Samudera Shipping Line, salah satu anak perusahaan Samudera Indonesia. Kebetulan Sinar Kudus ini satu-satunya kapal yang dimiliki Samudera Indonesia.
Anda mendirikan PT Ngrumat Bondo Utomo. Ini pemilik Samudera Indonesia? Kepemilikan saham keluarga itu diinstitusionalisasi. Jadi yang memiliki Samudera Indonesia itu PT Ngrumat Bondo Utomo, kayak holding-nya keluarga. Istilahnya dalam bisnis, family office.
Ada berapa total anak perusahaan PT Ngrumat Bondo? Sekitar 30 perusahaan.
Apakah ada wasiat Bapak siapa yang akan memegang kendali? Kan ada PT Ngrumat Bondo Utomo. Waktu saya baru masuk, Bapak bilang, “Ti, tolong kamu belajar bagaimana memisahkan ownership.” Jadi saya belajar apa itu bisnis keluarga.
Latar belakang Anda teknologi informasi, bagaimana Anda masuk bisnis pelayaran ini? Lo, saya kan memulai dari bawah. Pertama kali saya mulai, saya punya satu unit jualan jasa. Kalau mau jujur, saya ini disetir oleh bapak saya. Kami semua dikasih lingkungan yang memang kami sukai, jadi enggak merasa kalau disetir.Waktu lulus SMA, saya masuk elektro. Ngerti juga kagak.
Ayah saya bilang,“Ti, kalau kamu mau belajar sesuatu, pick something which is of important for the future. Kamu ambil (sekolah) komputer.” Itu pada 1966. Dia sudah survei waktu itu, universitasnya, ngomong sama pembantu rektornya, pembantu dekan. Saya ke sana, fakultas ilmu komputer saja belum ada, jadi masuk elektro. Jadi itu pertama kali juga computer science diajarkan di Jerman Barat. Sarjana ilmu komputer yang pertama. Pulang ke sini, Pusat Komputer ITB baru berdiri.
Bapak orang PSI? Yang sebetulnya politikus itu kakaknya (Soebadio Sastrosatomo). Bapak dari dulu orang bisnis. Begitu berhenti dari pemerintah pada 1952, kembali ke bisnis.
Semua geng dia adalah kelompok muda Indonesia yang waktu itu terdidik, menguasai bahasa asing.
Modal mereka waktu itu membantu perjuangan republik.
Koleksi komputer pertama An
da tahun berapa, ya?
Tahun 1958. Masih ada. Waktu itu yang pakai nomor satu Bank Indonesia, lalu Badan Pusat Statistik, IPTN. Saya waktu pulang itu pas pergantian generasi komputer (mainframe) dari IBM System/360 ke IBM S/370.
Anda menyukai hiking, ke mana saja?
Sekarang enggak ada waktu.
Pernah ke Gunung Rinjani bersama Bu Mari Pangestu, sekitar 1996. Saya suka naik gunung itu di Jerman, sama teman-teman saya. Kalau di Jerman itu enak, petanya ada, segalanya sudah ada.
Anda terakhir ke mana?
Ke Irian Jaya, waktu itu Bapak masih hidup. Ibu juga kita ajak.
Kita ke Jayapura, ke Kaimana, Wamena, dan Timika. Kebetulan kita ada Yayasan Sejati, bantuin suku Komoro memetakan wilayah ulayat mereka karena sebagian dikasihkan pemerintah ke Freeport. Perusahaan ini harus memberikan imbalan kepada suku itu tidak dalam bentuk uang.
Soal Yayasan Sejati?
Dea Sudarman, yang pernah bikin dokumentasi suku Asmat dan di-hire oleh NHK, Jepang, ingin bikin yayasan. Suku tradisional dengan modernisasi akan terlibas tradisinya. Tapi dalam kebiasaan suku tradisional ini ada kearifan yang harus kita dokumentasikan. Dan kami menjembatani antara orang kota dan suku tradisional agar terjadi saling pengertian. Jadi pendekatan perlu dibekali dengan antropologi, sosiologi. Dicari ekonom, maka saya ajak Mari Pangestu. Dia mengajak Felia Salim. Saya dikenalin sama Dea oleh Ibu Emmy Hafild. Cita-citanya mau bikin dokumenter. Jadi akhirnya kami mulai di Pulau Aru.
Kalau libur, Anda kongko dengan mereka?
Kadang sama mereka. Sama Bu Mari. Saya selama beberapa bulan ini aktif di The Nature Conservancy. Mereka bikin program di Taman Nasional Komodo.
Anda masih terlihat cantik dan segar. Apa resepnya?
Punya Ibu yang sangat genit dan care terhadap penampilan.
Saya olahraga teratur, golf. Sejak dua tahun terakhir, saya ikut aqua aerobik.
Powered by pressmart Media Ltd