Di Indonesia, Internet dan Media sosial bukan dipakai sebagai fasilitas produktif, tapi berubah menjadi media konsumtif dan konsumtif hal hal yang destruktif.. Apalagi urusan “pelintir melintir” .. Contoh paling baru ya si Buni Yani., sengaja menghilangkan isi ocehan si Ahok walhasil , 100 M melayang buat mobilisasi massa.. Konyol..
Sekarang.. jelas urusan “sengaja salah kutip” dijadikan forum untuk menggoyang Presiden dan bikin ricuh.. Lihat saja ucapan jubir FPI.. dibawah ini..
Sampai kapan Indonesia mau disandera oleh segerombolan orang penjual agama.. Para penjual agama ini memang demennya menang sendiri dan bikin rusuh..
Eks Ketua Muhammadiyah: Ahok Tak Sebut Al-Maidah Itu Bohong
SENIN, 07 NOVEMBER 2016 | 11:40 WIB
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tiba di Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta, 7 November 2016. Ahok memenuhi panggilan Bareskrim Polri terkait kasus dugaan penistaan agama surat Al-Maidah ayat 51. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif atau Buya Syafii menilai Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak melecehkan Al-Quran berdasarkan rekaman video yang utuh. “Secara utuh pernyataan Ahok telah saya baca,” kata Syafii di Jakarta, Senin, 7 November 2016.
Syafii mengatakan, publik harus memperhatikan lebih detail pernyataan Ahok saat kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Dijelaskan Syafii, maksud Ahok agar masyarakat tidak percaya kepada seseorang karena dibohongi menggunakan Surat Al-Maidah ayat 51. “Ahok tidak mengatakan Al–Maidah itu bohong,” ujar Syafii.
Baca: Ahok Diperiksa Bareskrim, Hizbut Tahrir Bereaksi
Ahok, menurut Syafii, mengkritisi orang yang menggunakan Al-Quran untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih petahana gubernur itu pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. Terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia, Syafii menuturkan lembaga itu harus menjaga martabat melalui fatwa berdasarkan analisa yang jernih, cerdas, dan bertanggung jawab.
Syafii mengungkapkan bentuk konkret dari fatwa MUI yakni aksi damai dari Gerakan Nasional Pendukung Fatwa MUI yang berujung rusuh di sekitar Silang Monas Jakarta, Jumat, 4 November 2016. Syafii berpesan masyarakat tidak mengorbankan kepentingan bangsa dan negara untuk urusan kelompok melalui fatwa MUI.
Baca: Tersandung Kasus Ahok, Buni Yani: Ahok Juga Bakal Tersangka?
Adapun Ahok Senin ini diperiksa Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto mengatakan ada beberapa poin yang harus pihaknya pertajam dan dalami terkait pemeriksaan Ahok atas kasus dugaan penistaan agama pada Senin, 7 November 2016.
“Jadi, ada beberapa poin yang harus kami pertajamkan dan kami dalami. Apa sih sebenarnya konteksnya dia melakukan ucapan atau pernyataan seperti itu. Itu harus kami pertajam supaya nanti tidak ada salah tafsir,” kata Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto di Mabes Polri Jakarta, Senin, 7 November 2016.
Baca Pula
Dugaan Pelecehan Presiden, Pro-Jokowi Laporkan Ahmad Dhani
Ahmad Dhani Disebut Menista Jokowi, Polisi Disodorkan Bukti
Selanjutnya: Terkait 22 orang saksi…
Sedangkan, terkait dengan 22 orang saksi dalam pengusutan kasus Ahok yang telah diperiksa, ia menyatakan pemeriksaan itu berkaitan dengan peristiwanya seperti apa dan tentunya orang-orang yang berada di tempat kejadian perkara. “Dari berbagai sudut, ada yang di depan, samping, kanan, dan lain sebagainya,” ucap Ari.
Menurut Ari, penyelidik juga akan memeriksa video secara forensik. Video itu akan diputarkan kembali kepada orang-orang yang melihat dan mendengar. “Apakah sudah sesuai apa belum,” katanya. Dari keterangan-keterangan tersebut, kata dia, nanti akan kami tanyakan kembali kepada ahli seperti ahli bahasa dan ahli hukum pidana.
Baca: Kasus Penistaan, Ahok ke Mabes Polri Ditemani Ruhut Sitompul
“Kemudian juga masalah agama. Itu yang kami perlu tajamkan. Sehingga apa yang disampaikan nanti terang-benderang. Bisa dilihat bahwa kami melaksanakan penegakan hukum sesuai aturan dan ketentuan yang ada,” tutur Ari.
Ahok menyambangi gedung Rupatama, Mabes Polri, Jakarta, Senin, sebagai terlapor atas kasus dugaan penistaan agama. Berdasarkan pantauan Antara, Ahok yang memakai batik berwarna cokelat lengan panjang datang pada pukul 08.15 WIB dengan menggunakan mobil Toyota Innova dengan nomor polisi B-1330-EDM.
Baca: Tersandung Kasus Ahok, Buni Yani: Ahok Juga Bakal Tersangka?
Namun, Ahok tidak memberikan pernyataan sedikit pun kepada awak media, hanya melambaikan tangan dan langsung masuk ke gedung Rupatama Mabes Polri. Pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta nonaktif tersebut merupakan pemeriksaan untuk kedua kalinya sebagai terlapor.
Hingga saat ini, Polri telah mendengarkan keterangan dari 22 orang saksi dalam pengusutan kasus Ahok. Di antara 22 saksi tersebut, setidaknya ada sepuluh orang saksi ahli yang diperiksa berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), para ahli hukum pidana, ahli bahasa, dan ahli agama.
ANTARA
+++++++++++
Senin 07 Nov 2016, 14:51 WIB
Singgung Fatwa MUI, Hamka Haq: Seharusnya Ahok Dipanggil Dulu, Jangan Sepihak
Gibran Maulana Ibrahim – detikNews
Hamka Haq mendatangi Bareskrim Polri memberikan keterangan sebagai ahli, Senin (7/11/2016). Foto: Gibran Maulana Ibrahim-detikcom
Jakarta – Hamka Haq meyakini tidak ada unsur penistaan agama yang dilakukan Ahok saat menyebut Surat Al-Maidah 51, kala berpidato di Kepulauan Seribu. Hamka balik menyinggung putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang langsung ‘memvonis’ Ahok bersalah melakukan penistaan agama.
“Menurut saya tidak memenuhi syarat sebagai penistaan agama. Karena tidak langsung mengatakan dibohongi Alquran, tapi ada orang yang berbohong menggunakan Alquran,” ujar Hamka Haq saat datang ke Bareskrim Polri di Gedung KKP, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Senin (7/11/2016).
MUI menurut anggota DPR dari PDI Perjuangan ini seharusnya lebih dulu mendengarkan keterangan Ahok sebelum membuat sebuah keputusan terkait pelaporan Ahok. Permintaan keterangan dari banyak pihak penting agar keputusan yang diambil obyektif.
“Seharusnya Ahok dipanggil dulu, dimintai (keterangan), jangan sepihak. Tentu saya menyampaikan hal-hal yang saya ketahui. Seperti di ILC saya katakan bahwa ucapan Ahok tidak memenuhi syarat-syarat penistaan agama. Karena pertama tidak langsung dikatakan dibohongi Alquran, tapi banyak kan orang yang memakai Alquran untuk membohongi, Kanjeng Dimas kan, Gatot membohongi teman-temannya,” papar Ketum Baitul Muslimin Indonesia ini.
MUI pada Selasa (11/10/2016), mengeluarkan sikap keagamaan resminya terkait kasus dugaan penistaan agama Ahok. MUI menyatakan Ahok telah menistakan agama. Menurut MUI, menyatakan kandungan surat Al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.
“Fatwa itu keluar tanpa konfirmasi dengan Ahok. (Surat) al-Hujurat ayat 6 menganjurkan konfirmasii dulu kalau ada berita. Wartawan saja konfirmasi dulu biar tidak salah, masa majelis ulama tidak konfirmasi? Mestinya seperti itu kan Al- Hujurat ayat 6,” tegas Hamka Haq.
Dikhawatirkan keputusan yang salah malah membuat persoalan tidak selesai. “Ya kalau sesuai prosedur salah, apalagi yang (Buni Yani) sudah mengaku salah, kalau fatwa didasarkan pada kesalahan tentu hasilnya salah,” uja Hamka.
(fdn/fdn)
Senin 07 Nov 2016, 15:55 WIB
Bela Buni Yani, Munarman: Pidato Ahok Ada Kata ‘Pakai’ atau Tidak Sama Saja
Bisma Alief Laksana – detikNews
Munarman/kiri (Foto: Agung Pambudhy-detikcom)
Jakarta – Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman menyebut tidak ada persoalan digunakan tidaknya kata ‘pakai’ saat Ahok bicara di Kepulauan Seribu. Munarman menegaskan, substansinya tetap sama yaitu penghinaan terhadap kitab suci.
“Dibohongi (surat) Al Maidah, yang menyatakan itu artinya Al Maidah yang bohong. Kalau ‘pakai’ artinya (surat) Al Maidah itu alat untuk melakukan kebohongan. Sama saja dengan menuduh Alquran alat kebohongan, nggak ada beda sebenarnya,” ujar Munarman dalam jumpa pers Buni Yani di Wisma Kodel, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (7/11/2016).
Munarman juga membela Buni Yani mengenai video berdurasi 31 detik yang diunggah di akun media sosial (medsos) miliknya. Menurutnya video pidato pada 27 September 2016 diunggah pertama kali oleh Pemprov DKI lalu diposting ulang oleh akun media NKRI.
“Jadi siapa yang upload pertama? Pemprov. Siapa yang nyuruh? ya Ahok,” sebutnya.
Karena itu Munarman meminta proses hukum harus dilakukan secara adil. Tidak boleh hanya menyasar Buni Yani sebagai target.
“Kasus Ariel, dia tidak upload tapi kenapa kena? Dipenjara dia. Tuduhannya berperan serta karena melakukan. Artinya, saya ikuti logika bodoh-bodohaan itu. Kalau Buni jadi tersangka, yang upload pertama siapa? Pemprov. Yang mengeluarkan pernyataan SARA pertama siapa? Ahok dong, harus kena dia, ikut peran serta dia,” beber Munarman.
Dia tak ingin maraknya sorotan soal Buni Yani menjadi ‘jalan’ untuk mengalihkan isu dari tuntutan atas penuntasan proses hukum laporan terhadap Ahok yang ditangani Bareskrim Polri.
“Kalo Buni ditangkap, dia (Ahok) ditangkap juga, dia berperan serta.
Saya sudah tahu Buni mau jadi kambing hitam. Sebelum 4 November juga saya sudah tahu untuk pengalihan isu. Kalau mau mengalihkan isu yang gede bukan Buni tapi Munarman,” katanya.
Sementara itu, Buni Yani dalam jumpa pers yang sama mengaku tidak pernah menyebarkan kebencian terhadap Ahok. Karena itu dia mengganggap tuduhan banyak orang soal dirinya melakukan provokasi melalui media sosial, tidak tepat.
“Tidak ada kebencian yang saya sebarkan. Saya dianggap penjahat penyebar provokator. Dalam hati saya nggak ada sama sekali perasaan itu. Dari dulu saya sudah merasakan jadi minoritas,” tegas dia.
(fdn/imk)
+++++++
Munarman FPI Bandingkan Video Ahok dengan Ariel ‘Noah’
SENIN, 07 NOVEMBER 2016 | 19:43 WIB
Munarman. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta – Panglima Front Pembela Islam (FPI) Munarman membandingkan video dugaan penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan video asusila yang melibatkan musisi Nazril Ilham alias Ariel. “Ariel itu tidak mengunggah (video) tapi kenapa dipenjara? karena berperan serta ikut,” kata Munarman, Senin, 7 November 2016.
Menurut Munarman, dalam kasus ahok yang pertama kali mengunggah video adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Maka pemerintah bisa dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena mengunggah konten yang diduga menistakan agama. Sedangkan Ahok dijerat karena turut serta melakukan penistaan agama. “Saya tegaskan ini pakai logika bodoh ya,” ujar Munarman sambil tertawa.
Munarman menyatakan, dia perlu menegaskan logika hukum itu karena ada pihak yang ingin menyeret Buni Yani sebagai tersangka pengunggah video penistaan agama. “Buni Yani akan jadi kambing hitam kasus tersebut. Ini untuk pengalihan isu,” kata Munarman.
Baca: Buni Yani Bantah Mengedit Video Ahok
Sebelumnya, Buni Yani mengakui telah menyebarkan video dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Namun dia membantah mengedit video itu. Dia mendapatkan video Ahok yang menyinggyun soal surat Al-Maidah 51 itu dari media massa NKRI lalu ia bagikan.
“Saya dituduh memotong (video), itu saya dapatkan dari media NKRI, saya tidak mengedit video,” kata Buni saat konferensi pers di Kantor Himpunan Advokat Muda Indonesia pada Senin, 7 November 2016. “Saya bukan yang pertama kalinya mengunggah video.”
Karena itu Buni memastikan bahwa pihaknya sama sekali tak mengedit isi video tersebut. Termasuk tuduhan memotong video. Dia hanya mengaku lupa menggunakan kata “pakai” saat mentranskrip video pernyataan Ahok.
Baca: Kasus Ahok: Buni Yani Bakal Tersangka? Ini Kata Bareskrim
Buni mengaku tidak memiliki alat edit video. Dia sehari-hari sibuk sebagai seorang pengajar. Sehingga ia tak memiliki banyak waktu, apalagi mengedit video. Buni hanya menyebarkan video yang dibagikan oleh NKRI.
“Saya bersaksi, Demi Allah tidak pernah mengubah apa-apa di dalam video tersebut,” ucap Buni. Buni mengatakan tak memiliki kepentingan untuk mengedit video. Sehingga tak ada alasan baginya mengedit pernyataan Ahok.
AVIT HIDAYAT
++++
koran tempo
SENIN, 07 NOVEMBER 2016
Dalil Penjerat Ahok Dinilai Lemah
JAKARTA – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian RI hari ini memanggil Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai terlapor dalam kasus dugaan penistaan agama. Meski demikian, sejumlah ahli hukum pidana dan agama menilai sulit menjerat Ahok sebagai tersangka.
Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, menilai penyelidik akan kesulitan membuktikan unsur “dengan sengaja” dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dituduhkan kepada Ahok. Seseorang disebut sengaja jika bertindak sesuatu dengan kesadaran dan niat. “Ini sangat sulit mengukurnya, apakah ini direncanakan atau tak disadari,” kata Julius, kemarin.
Kasus ini bermula dari laporan Advokat Cinta Tanah Air kepada Bareskrim pada 6 Oktober lalu, yang menuding Ahok telah menistakan agama dalam pidato sepekan sebelumnya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Pernyataan Ahok juga menyulut dua kali demonstrasi, terakhir pada Jumat pekan lalu, yang sempat ricuh.
Menurut Julius, dalam pidatonya Ahok menyebutkan “karena dibohongi pakai surat Al-Maidah 51”. Julius menggarisbawahi kata “pakai”, yang menunjukkan Ahok tak bermaksud mengatakan Surat Al-Maidah berbohong. “Beda jika Ahok bilang jangan mau dibohongi Al-Maidah,” kata Julius.
Bekas Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama, Machasin, mengatakan penistaan agama bukan kasus sepele. Sependapat dengan Julius, Machasin menilai penyelidik akan kesulitan membuktikan Ahok memiliki niat jahat (mens rea). “Sedangkan kalau dipikir, Ahok sedang perlu suara dalam rangka pilkada, mana mungkin dia sengaja menghina atau menyakiti umat muslim?” ujar guru besar pemikiran Islam dari Universitas Islam Negeri Yogyakarta itu. Ia justru khawatir pengusutan kasus ini rentan diintervensi kepentingan politik.
Sebelum memanggil Ahok, Bareskrim sebenarnya telah memeriksa sejumlah saksi, di antaranya warga Kepulauan Seribu, pegawai Pemerintah Provinsi DKI, staf Ahok, dan para pelapor. Polisi juga meminta keterangan saksi ahli hukum pidana, bahasa, dan agama.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Agus Rianto, enggan menyebutkan hasil pemeriksaan awal kasus ini. “Lihat perkembangan nanti. Sekarang masih tahap penyelidikan,” kata dia, kemarin.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan rencana menyiarkan secara langsung gelar perkara kasus Ahok di media elektronik sebagai bentuk komitmen Polri untuk transparan menuntaskan kasus Ahok. “Ini memang tidak wajar dilakukan, tapi ini pengecualian. Presiden Joko Widodo meminta ini dibuka ke publik,” kata dia, Sabtu pekan lalu.
Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, menilai rencana Tito itu kurang tepat. Menurut dia, Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 memang mengatur soal transparansi. Tapi dia mengingatkan, hasil penyelidikan dan penyidikan hanya dapat dibuka seluruhnya ketika masuk persidangan. “Kalau terbuka dan belum sampai tahap pengadilan, ini bahaya sekali,” kata dia.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan Buni Yani berpotensi ditetapkan sebagai tersangka karena mengunggah video berisi ucapan Ahok terkait dengan surat Al-Maidah 51. “Itu berpotensi sebagai tersangka,” kata dia.
Buni dianggap sengaja mengedit rekaman video karena menghilangkan kata “pakai”, sehingga ucapan Ahok diartikan sebagai tindakan penghinaan terhadap kitab suci umat Islam. Pengacara Buni Yani, Aldwian Rahadian, mengatakan pernyataan Boy tidak fair. “Itu kesimpulannya sendiri,” ujarnya kepada Tempo. DEWI SUCI RAHAYU | EGI ADYATMA | DESTRIANITA | REZKI ALVIONITASARI
Terpidana Penodaan Agama
Berikut ini beberapa perkara penghinaan agama yang pernah diadili:
1. Rusgiani Majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan Rusgiani menghina agama Hindu dan mencederai keharmonisan umat beragama pada Mei 2012. Rusgiani menyebut canang atau tempat sesaji yang terletak di depan rumah seorang warga Badung, Ni Ketut Surati, sebagai najis.
Pasal yang dilanggar:
Pasal 156 dan 156 a juncto Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP juncto Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hukuman:
14 bulan penjara.
2. Alexander Aan Majelis hakim Pengadilan Negeri Muaro Sijunjung menyatakan pegawai negeri Kabupaten Dharmasraya, Padang, Sumatera Barat, ini dihukum karena tak mengakui keberadaan Tuhan melalui akun Facebook miliknya.
Pasal yang dilanggar:
Pasal 156a KUHP juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hukuman:
2,5 tahun kurungan dan denda Rp 100 juta.
3. Arswendo Atmowiloto Pemimpin Redaksi