RUU PENCUCIAN UANG DPR HALANGI PENGUATAN KPK
JAKARTA
koran tempo 25 Agustus 2010
Beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat berkukuh tak memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menerima laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Para politikus juga menolak upaya beberapa kalangan yang menginginkan agar kewenangan penyidikan kasus pidana pencucian uang tak hanya dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Sikap paling keras disampaikan Fraksi Golkar dan didukung oleh PDI Perjuangan, PPP, dan Hanura. “Wewenang itu hanya ada pada dua lembaga, yakni Kejaksaan dan Kepolisian. Kalau diberikan ke KPK, masyarakat akan semakin tidak percaya kepada dua institusi itu,” kata Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Golkar, Harry Azhar Azis, kemarin.
Fraksi PAN juga menolak memberikan kewenangan lebih besar kepada PPATK, termasuk dalam hal penyidikan dan penyitaan, namun setuju laporan PPATK bisa diserahkan kepada pihak di luar Polri dan Kejaksaan, misalnya KPK.
Dukungan bagi pelibatan KPK dalam penanganan pencucian uang dan penguatan PPATK diberikan oleh Partai Demokrat. Fraksi PKS, PKB, dan Gerindra pun mendorong penyerahan laporan PPATK kepada instansi seperti KPK, dan Badan Narkotika Nasional. TOMI | RIRIN | SANDY R ancangan Undang-Undang Pencucian Uang Tahun 2010 sebetulnya mem berikan wewenang besar bagi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi wewenang tambahan ini diganjal politikus DPR.
Wewenang baru PPATK: 1. Semula lembaga ini hanya berwenang men cegah dan melaporkan soal dugaan pen cucian uang, tapi sesuai dengan draf RUU berwenang pula menyelidiki (Pasal 39).
2. Memblokir kekayaan atau rekening yang mencurigakan (Pasal 44).
Wewenang tambahan KPK 1. Menyelidiki dan menyidik tindak pidana pencucian uang (Pasal 76, Pasal 79, 80).
2. Bersama PPATK membentuk satuan tugas gabungan untuk mengusut kasus pencucian uang (Pasal 82).
Akibat penolakan: Jika wewenang baru ditolak, penyelidikan dan penyidikan kasus pencucian uang, termasuk adanya rekening yang mencurigakan, dilakukan hanya oleh kepolisian dan kejaksaan. Ini tak jauh berbeda dengan yang berlaku pada undang-undang yang lama, UU No. 15/2002 dan UU No. 25/2003 tentang Pencucian Uang. SIKAP FRAKSI DI SENAYAN Kontra-Penguatan 1. Fraksi Golkar: Bambang Soesatyo (ANGGOTA KOMISI III) “Siapa yang bisa jamin semua orang di PPATK itu malaikat? Cukup polisi dan Kejaksaan Agung yang memiliki hak penyidikan sesuai dengan KUHAP No. 8 Tahun 1981.”
2. Fraksi PPP Ahmad Yani (ANGGOTA KOMISI III) “Laporan hasil analisis PPATK lebih baik hanya diterima oleh kepolisian, agar tidak terjadi tubrukan kepentingan.”
3. Fraksi PAN Achmad Rubaei (WAKIL KETUA FRAKSI) “Kepemimpinan PPATK lemah, sehingga tidak bisa dipercaya untuk memikul beban seperti penyidikan, penyitaan, dan lainnya.”
4. Fraksi PDI Perjuangan Dolfi O.F.P. (ANGGOTA KOMISI XI) “PPATK lembaga di bawah presiden langsung, maka seharusnya hanya berwenang pada pemberian laporan. Berdasarkan hukum acara, kepolisianlah yang berhak menyidik, bukan lembaga lain. KPK tidak perlu lagi dilibatkan.” Pro-Penguatan 1. Fraksi Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin (ANGGOTA KOMISI III) “Sikap kami jelas, kami ingin memaksimalkan peran PPATK.
Makanya, kami mendukung agar data yang dimiliki PPATK bisa diberikan ke semua lembaga penegak hukum, bukan cuma kepolisian dan kejaksaan, tapi juga Badan Narkotika Nasional dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau hanya ke kepolisian, sama saja dengan yang lalu.”
2. Fraksi Gerindra Martin Hutabarat (ANGGOTA KOMISI III) “Kami dorong institusi penegak hukum agar bisa bersinergi, karena pencucian uang ini sudah meluas ke semua pihak. Tidak akan ada masalah. Dari awal, KPK itu diatur untuk bisa menyelidik dan menyidik, bukan hanya polisi saja.”
TEKS: TOMI | RIRIN AGUSTIA | AMIRULLAH | SANDY INDRA PRATAMA Menolak Senjata Dua Lembaga Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan ada usaha dari sejumlah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengamputasi upaya memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi guna turut menyidik pidana pencucian uang. Tindakan itu dilakukan dengan menghilangkan satu ayat di Pasal 70 dalam Rancangan Undang-Undang Pidana Pencucian yang kini dibahas di Tim Perumus DPR.
Bunyi pasal tersebut adalah, “Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lainnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyerahkan hasil pemeriksaan dimaksud kepada penyidik tindak pidana asal untuk dilakukan penyidikan.”Pasal ini memungkinkan KPK menyidik pidana
pencucian yang berkaitan dengan kasus korupsi.
Indonesia Corruption Watch, salah satu anggota Koalisi, menganggap manuver para politikus Senayan itu merupakan usaha mempertahankan status quo. Caranya dengan hanya memberikan wewenang kepada Polri dan Kejaksaan guna mendapatkan dan menindaklanjuti laporan hasil analisis PPATK.“Ini jelas upaya pelemahan secara sistematis,” ujar peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Donal Fariz, kemarin.
Menurut ICW, upaya amputasi itu terjadi dalam rapat kerja Tim Perumus yang dilaksanakan pada 20-22 Agustus lalu di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat. Para legislator beralasan, penguatan PPATK dan KPK dalam hal pencucian uang akan membuat investor takut menempatkan uangnya di bankbank lokal.
Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR
dari Golkar, Harry Azhar Azis, mengatakan fraksinya menginginkan agar kewenangan untuk mendapatkan laporan analisis PPATK dikembalikan ke Kejaksaan dan Kepolisian. Ia beralasan, persoalan yang tengah menimpa Kejaksaan dan Kepolisian tidak semestinya dijadikan alat untuk melimpahkan kewenangan itu ke KPK.
“Kalau tetap diberikan ke KPK, masyarakat akan semakin tidak percaya kepada dua institusi itu.” Politikus Golkar lainnya, Bambang Soesatyo, bahkan mencurigai PPATK selama ini telah menjadi alat penguasa dan partai berkuasa untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. “Kami tidak ingin PPATK menjadi alat peras baru,” katanya. “Kami juga menduga PPATK memiliki agenda kepentingan asing agar para pemilik modal tidak nyaman, lalu memindahkan uangnya ke bank-bank asing.” Kepala PPATK Yunus Hu
sein sebelumnya menyatakan ada pihak yang khawatir jika kewenangan PPATK diperluas.“Mau jadi penyelidik saja banyak yang keberatan,” ujarnya.
Yunus menjelaskan, pembahasan RUU ini terganjal pada bagian mengenai pemberian kewenangan kepada KPK.“Ada upaya membatalkan kesepakatan sebelumnya, yakni bahwa KPK boleh menyidik tindak pidana pencucian uang.” Padahal, akhir Juli lalu, Panitia Kerja DPR telah menyepakati bahwa enam lembaga dimungkinkan menyidik tindak pidana pencucian uang.
Laporan hasil analisis PPATK juga boleh diberikan kepada Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, dan KPK. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak boleh melakukan penyidikan atas inisiatif sendiri. Namun keduanya tak diberi akses ke laporan hasil analisis PPATK.