Investor sudah sadar bahwa jago nya hanya seorang “jongos nyonya besar partai” ..
Presiden Jokowi di KAA (Sekretariat Kabinet) |
Ipotnews – Bulan madu Presiden Joko Widodo dan investor global berakhir dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang anjlok dalam dan rupiah yang kian terpuruk dengan penurunan terdalam di Asia. Bobot politik Jokowi dinilai kurang, terlihat dari pencalonan Kapolri yang bermasalah, dan yang terakhir soal eksekusi mati yang mengagetkan masyarakat internasional, meski tak adil untuk menilai kinerjanya hanya dalam enam bulan masa kepresidenan.
Seperti dilansir Bloomberg, Kamis (30/4), setelah memulai masa jabatan presiden Oktober lalu dengan kebijakan ramah pasar lewat pemangkasan subsidi BBM, Jokowi kini dalam kecaman lewat pengangkatan calon Kapolri bermasalah dan kini eksekusi warga asing penyelundup narkoba yang dinilai merugikan hubungan dengan mitra dagang. Hal itu diperparah dengan posisi Jokowi yang minim dukungan di parlemen yang bisa mempersulit dirinya menghidupkan kembali perekonomian.
Situasi itu, lanjut Bloomberg, menipiskan kesabaran pengelola dana asing yang sempat mendorong IHSG ke posisi tertinggi pada 7 April dan hingga kemarin anjlok 7,6 persen seiring penarikan dana oleh asing. Pada bagian lain, pemerintah hanya mendapatkan kurang separoh dari target lelang obligasi pada Selasa lalu. Tambahan lagi, para pemain mata uang bersikap bearish pada rupiah ketimbang mata uang regional.
“Sangat sulit menemukan hal-hal positif jika bicara ekonomi dan politik Indonesia saat ini,” ujar Michael Every, kepala riset pasar finansial Rabobank Group yang berbasis di Hong Kong. “Makin sulit untuk menjustifikasi apapun faktor premium Jokowi.”
Kekhawatiran investor asing paling terlihat di pasar saham pada Rabu (29/4) kemarin, dengan penurunan IHSG mencapai 2,6 persen hingga ditutup di posisi terendah sejak 17 Desember. Meski, rupiah menguat 0,3 persen menjadi 12.944 terhadap dolar AS, namun tetap saja penurunan tahun ini mencapai 4,3 persen, sedangkan yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun lima basis poin menjadi 7,74 persen. Dan, hari ini, di awal perdagangan nilai tukar rupiah tergelincir 0,1 persen.
Pada hari puncak kekhawatiran itu, Indonesia mengeksekusi tujuh warga asing penyelundup narkoba, yang mendorong Australia menarik duta besarnya dan memperingatkan gangguan hubungan kedua negara. Perdagangan kedua negara mencapai USD9,7 miliar pada tahun lalu yang berakhir 30 Juni. “Eksekusi tersebut sangat tidak ramah bagi investor asing,” kata Every.
Sebelumnya, popularitas Jokowi merosot tajam dengan pencalonan Komjen Budi Gunawan yang memicu konflik kepolisian dan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), dan kini berujung pada keraguan atas kredibilitas KPK dengan pengangkatan orang-orang yang dinilai tak berkompeten, menggantikan pimpinan lama yang harus dinonaktifkan. Citra Jokowi sebagai pemimpin yang bisa melanjutkan reformasi dan memberantas korupsi makin dipertanyakan.
“Pesan yang didapat investor, Presiden (Jokowi) belum memiliki bobot politik,” tegas Paul Rowland, analis politik independen yang berbasis di Jakarta, dalam sebuah wawancara. “Ada tanda tanya atas kemampuannya untuk menuntaskan berbagai program reformasi.”
Menanggapi pandangan asing itu, Direktur Eksekutif Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung, menilai apa yang terjadi pada pasar saham hanya bersifat “musiman” sehingga tak terkait dengan kebijakan pemerintah, apalagi eksekusi mati. “Investor menunggu dan ingin melihat laporan keuangan perusahaan kuartal pertama yang di bawah target. Tapi kami berharap dengan PDB yang kuat dan fundamental yang lebih baik pada kuartal kedua, investor akan kembali,” harap Juda.
Tantangan politik Jokowi telah meningkat sejak muncul kekhawatiran atas kekuatan pertumbuhan ekonomi dan laba perusahaan. Target pemerintah meningkatkan ekspansi 5,7 persen tahun ini, dari posisi terendah lima tahun sebesar 5,02 persen pada 2014, akan sulit dicapai. Hal ini diakui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil pada 21 April lalu.
Di pihak lain, mayoritas emiten, termasuk konglomerat PT Astra International Tbk [ASII 6,925 -175 (-2,5%)], telah melaporkan anjloknya laba pada kuartal pertama.
Namun, sebagian pengamat mengingatkan bahwa dampak kebijakan Jokowi harus dinilai selama bertahun-tahun, tidak dalam hitungan bulan. Menurut Alan Richardson, manajer investasi di Samsung Asset Management Co, Jokowi sudah bertekad mengakumulasi anggaran untuk membangun pelabuhan, jalan, dan rel kereta api. Program yang tentu butuh waktu untuk diterjemahkan ke angka pertumbuhan ekonomi.
Apalagi, ada beberapa tanda-tanda keberhasilan awal. Investasi langsung asing (FDI) ke Indonesia pada kuartal penuh pertama sejak Jokowi menjadi presiden, naik 14 persen dibandingkan kuartal yang sama 2014. Jokowi juga dinilai berhasil menekan subsidi energi yang selama ini sangat membebani anggaran pemerintah. “Berharap hasil hanya dalam enam bulan masa kepresidenan tentu tidak realistis,” ujar Richardson.
Kerentanan ekonomi
Hal yang pasti, perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap prospek kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dalam tahun ini. Neraca transaksi berjalan Indonesia telah mengalami defisit 13 kuartalan berturut-turut hingga akhir 2014. Sedangkan ratio cadangan devisa terhadap produk domestik bruto hanya kurang dari separuh jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, bahkan Filipina.
Hal itu tentu menambah risiko di pasar mata uang, di mana para pemain yang disurvei Bloomberg telah memangkas estimasi rata-rata mereka untuk nilai tukar pada akhir 2016 turun 9 persen dibanding tahun ini menjadi Rp13.700 per dolar. Penurunan terbesar jika dibandingkan mata uang Asia lain.
Di pasar obligasi, investor ternyata juga berbalik arah. Hal ini terlihat dari lelang obligasi dengan target Rp10 triliun pada 28 April lalu, pemerintah hanya mendapatkan kurang dari separuh target. Ini adalah penjualan terlemah sejak Juni 2013, di saat pasar juga dikhawatirkan oleh berakhirnya program stimulus moneter di AS.
“Orang-orang (investor) sedikit terlalu optimistis tahun lalu,” ujar Divya Devesh, pakar strategi valuta asing di Standard Chartered Plc di Singapura. “Sejumlah optimisme yang tampaknya kini harus diturunkan.”(Bloomberg/ha)