MUHAMMAD FAJAR MARTA
Cetak | 4 Juni 2015 257 dibaca 1 komentar
Dalam buku One Man’s View of The World yang dirilis dua tahun sebelum berpulang, Lee Kuan Yew mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber alam melimpah. Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju.
Namun, Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Menurut pendiri Singapura itu, salah satu faktor penghambat kemajuan Indonesia adalah korupsi. Akibat ko- rupsi, satu per satu kekayaan alam Indonesia habis tanpa menciptakan kemakmuran pada generasi-generasi berikutnya.
Pada 1970-an, Indonesia booming minyak bumi. Namun, tidak bisa dimanfaatkan.Sekarang, ironisnya, Indonesia justru menjadi importir minyak. Pada 1980-an, Indonesia kembali kehilangan kesempatan dari booming kayu. Saat itu, hutan dibabat dan kayunya dijual secara besar-besaran. Kini, yang tersisa hanyalah hutan-hutan gundul dan rusak.
Dekade berikutnya, lagi-lagi Indonesia tidak mampu membangun fondasi ekonomi dari booming tambang dan batubara. Padahal, lahan-lahan telah dikeruk, menyisakan bencana bagi generasi berikutnya. Keberlimpahan sumber daya alam Indonesia tak menjadi apa-apa karena digerogoti korupsi.
Berbagai penelitian di dunia menunjukkan, ada korelasi erat antara korupsi dan perekonomian. Paolo Mauro, ekonom Harvard University, misalnya. Dalam tulisannya, “Corruption and Growth” yang dimuat dalam Quarterly Journal of Economics, Mauro sepakat dengan “sand the wheels hypothesis” atau hipotesis yang menyatakan bahwa korupsi merupakan pasir bagi roda pembangunan.
Dampak korupsi terhadap pembangunan juga bisa diukur dengan berbagai indikator. Transparency International (TI), misalnya, membandingkan indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) suatu negara dengan sejumlah indikator ekonomi, seperti produk domestik bruto, tingkat pengangguran, dan indeks gini yang menunjukkan ketimpangan pendapatan.
Hasil kajian NGO global anti korupsi itu menunjukkan, semakin parah tingkat korupsi di suatu negara, semakin tinggi ketimpangan pendapatan yang terjadi di negara tersebut. Artinya, korupsi membuat si kaya semakin kaya dan si miskin tambah miskin.
Hal ini sejalan dengan pikiran Vito Tanzi, ekonom Harvard lainnya, yang menyatakan bahwa korupsi menurunkan kemampuan pemerintah mencegah dan mengendalikan kegagalan pasar. Hasil analisis TI juga menunjukkan, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin tinggi pula tingkat pengangguran di negara bersangkutan.
Selanjutnya, hasil penelitian D Treisman (2000) bertajuk “The Causes of Corruption: A Cross-National Study” yang dimuat dalam Journal of Public Economics menemukan bukti ada hubungan terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin rendah kinerja ekonomi negara tersebut.
Terbukti, negara maju, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal sebagai negara-negara zero corruption. Sebaliknya, negara-negara miskin, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi.
Dalam Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi, akademisi UGM, Rimawan Pradiptyo, menyebutkan, korupsi juga akan menciptakan adverse selection masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di suatu negara. Para investor dari negara dengan tingkat korupsi rendah cenderung memilih investasi ke negara yang sama-sama memiliki tingkat korupsi rendah dan sebaliknya.
Sekjen TI Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, berdasarkan CPI 2014 yang dirilis TI, Indonesia hanya mendapat skor 34 (dari skala 100) atau di bawah skor rata-rata dunia yang sebesar 43. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di posisi ke-107 dari 174 negara.
Dengan tingginya korupsi, tak heran dalam survei Doing Business 2015 yang dirilis World Bank, Indonesia di posisi ke-114 dari 189 negara dengan skor 59,15 dalam skala 0-100. Indonesia dinilai masih buruk dalam beberapa hal, seperti proses perizinan yang lama, perlindungan usaha, dan administrasi pertanahan.
Terkait perizinan dan pelayanan publik, survei Global Corruption Barometer yang dikeluarkan TII menunjukkan, 4 dari 10 warga Indonesia membayar suap untuk mendapat pelayanan publik. Selain itu, 36 persen masyarakat membayar suap untuk mengakses 8 jenis layanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan air, pajak, tanah, kepolisian, serta hukum.
Negara maju
Korupsi yang amat masif jelas sangat menghambat pertumbuhan ekonomi. Uang yang seharusnya digunakan untuk investasi membangun infrastruktur malah dirampok koruptor.
Rimawan Pradiptyo mengatakan, berdasarkan kajiannya, total kerugian negara dalam kurun waktu 2001-2012 akibat korupsi mencapai Rp 162 triliun. Sementara untuk 2014, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyebutkan, total kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp 5,29 triliun.
Dilihat dari potensinya, nilai korupsi di Indonesia amatlah besar. Berdasarkan riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, potensi korupsi yang dilakukan penyelenggara negara pada 2014 mencapai Rp 1.792 triliun. Angka itu diperoleh dari transaksi mencurigakan dan transaksi tunai yang diduga dilakukan penyelenggara negara.
Andaikan dana itu digunakan untuk membangun jalan tol, pelabuhan, irigasi, bandara, peru- mahan, dan infrastruktur lain, tentu perekonomian Indonesia melesat cepat.
Dalam lima tahun terakhir (2010-2014), rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik, hanya 6,02 persen dengan kecenderungan menurun. Pada triwulan I-2015, pertumbuhan ekonomi bahkan anjlok ke level 4,71 persen.
Untuk menghela pertumbuhan ekonomi, mutlak dibutuhkan biaya investasi. Pada 2013, misalnya, total investasi yang dikeluarkan untuk menumbuhkan perekonomian ke level 5,65 persen adalah Rp 2.876 triliun. Dana investasi itu berasal dari berbagai sumber, seperti belanja modal pemerintah, pasar modal,capital expenditure BUMN, PMA/PMDN, dan kredit perbankan.
Pada 2013 itu, investasi yang dikeluarkan pemerintah, menurut data Kementerian Keuangan, mencapai Rp 356,74 triliun atau 12,4 persen dari total investasi. Dana tersebut berupa belanja modal dan anggaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Namun, akibat ko- rupsi, tidak semua dana investasi itu menjadi output dalam bentuk pendapatan nasional.
Dalam sejumlah kasus korup- si yang disidangkan di Pengadilan Tipikor, korupsi APBN biasanya dilakukan oknum-oknum birokrat melalui pengadaan barang dan jasa. Modus yang banyak dipakai adalah penggelembungan (mark up) nilai proyek dan rekayasa tender. Modus semacam ini terjadi pada sejumlah perkara, antara lain proyek pembangunan sarana olahraga terpadu Hambalang di Kemenpora dan proyek pengadaan simulator SIM roda dua dan empat di Korlantas Polri. Ada juga oknum yang menganggarkan proyek fiktif dalam APBN.
Untuk menjadi negara maju, tak ada jalan lain, Indonesia harus mencapai pertumbuhan 7-9 persen setiap tahun. Nah, laju pertumbuhan seperti itulah yang coba dibidik pemerintahan JKW-JK dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi berkisar 6,9-7,8 persen pada 2016-2018. Pertanyaannya, mampukah pemerintahan JKW-JK memberantas korupsi?
Yang jelas, tanpa korupsi, tidak hanya belanja pemerintah yang dapat dioptimalkan, tetapi juga penerimaan negara dapat meningkat signifikan, mengingat tak ada lagi pajak yang dikorupsi dan kekayaan alam yang hilang.
Sebab, dengan dampak yang menyengsarakan masyarakat, korupsi termasuk kejahatan kemanusiaan. Maka, seperti kata Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden, perilaku atau tindakan anti korupsi merupakan bentuk patriotisme.