Archive for ‘corruption’

March 8, 2016

Di Banten Era Atut, Dana Biskuit untuk Bayi Gizi Buruk Juga Dikorupsi

 

Brutal dan bejat dinasti politik Banten, tapi belagak sok Islami.. menjijikan.

Ratu Atut Chosiyah

JAKARTA – Korupsi di era pemerintahan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, ternyata benar-benar massif dan menggurita di berbagai sektor, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Selain kasus dugaan korupsi Alat Kesehatan (Alkes) RSUD yang menjerat Atut dan adiknya Tb Chaeri Wardana (Wawan), praktik korupsi di Banten lainnya di era Dinasty Atut juga telah merampas hak orang miskin, seperti korupsi dana makanan pendamping ASI untuk bayi gizi buruk.
Kasus bermula saat Pemprov Banten menggelontorkan ABPD untuk bantuan bayi gizi buruk dan kekurangan gizi. Makanan pendamping itu berupa biskuit dan gula khusus bagi bayi yang kekurangan gizi atau mengalami gizi buruk. Biskuit dan gula ini dibuat dengan syarat khusus dan berkualitas sesuai standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Semua makanan itu diberikan secara gratis.

Untuk merealisasi program tersebut Dinas Kesehatan Provinsi Banten membuat panitia pengadaan barang dan jasa yang diketuai oleh Agus Takaria.

Dalam perjalanannya, Agus main mata dalam pelaksanaan tender. Selain itu, Agus tidak melakukan survei harga pasar dan tidak menilai harga pabrikan. Agus tiba-tiba menunjuk PT BAP sebagai pemegang proyek pengadaan biskuit.

PT BAP dalam satu paket makanan itu mematok harga Rp 13 ribu dengan rincian harga pokok Rp 8 ribu, PPN Rp 800, keuntungan Rp 2 ribu dan sisanya biaya distribusi. Dinas Kesehatan Banten lalu memesan 337.500 paket makanan sehingga total anggaran yang dikeluarkan Rp 4,3 miliar.

Harga ini sangat jauh berbeda dengan harga yang dipasang oleh Dinas Kesehatan Lebak yang mematok harga Rp 2.160 per paket atau harga yang dipatok Kementerian Kesehatan yaitu Rp 2.744 per kotak. Mark up anggaran ini terendus oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan setelah dihitung terjadi kemahalan harga sebesar Rp 2,2 miliar. Mendapati temuan itu, jaksa lalu mengambil alih dan membawa Agus ke pengadilan.

Pada 28 Februari 2013 jaksa menuntut Agus selama 2 tahun penjara semata. Oleh Pengadilan Tipikor Serang, Agus dijatuhi hukuman 22 bulan penjara. Vonis Agus diperberat menjadi 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banten pada 22 Agustus 2013. Atas vonis ini, Agus tidak terima dan mengajukan kasasi.

Agus lalu diadili oleh Artidjo Alkostar-MS Lumme dan M Askin dah hasilnya bisa ditebak. Majelis kasasi pun melipatgandakan hukuman Agus.

“Menjatuhkan pidana selama 4 tahun dan 6 bulan penjara,” kata majelis sebagaimana tertuang dalam putusan kasasi yang dilansir website MA, Jumat 4 Maret 2016.

Menurut majelis, Agus telah terbukti memperkara diri sendiri dan orang lain yang dilakukan dengan bermacam-macam cara, salah satunya proses tender yang tidak fair tersebut. Bahwa kemudian hasil tindak pidana korupsi telah habis dipergunakan oleh terdakwa, maka merupakan masalah lain.

“Yang jelas adalah terdakwa pernah bertambah kaya dari hasil tindak pidana korupsi tersebut,” ucap majelis pada 15 April 2015 lalu. (*)

 

February 11, 2016

Palu Tumpul Perkara Korupsi

Jaman Jokowi diharapkan pemberantasan korupsi lebih dahsyat.. yang terjadi justru 180 derajat terbalik.. Sekarang kondisinya justru lebih buruk daripada jaman  SBY.

Bagaimana nasib KPK ??

 

Koran KAMIS, 11 FEBRUARI 2016

PALU hakim sepertinya masih tumpul untuk terdakwa perkara korupsi. Sepanjang satu tahun terakhir, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 68 terdakwa perkara korupsi divonis bebas oleh pengadilan. Angka ini membuat kita miris.

Tidak hanya itu, di antara 564 putusan kasus korupsi tahun lalu yang dikaji ICW, ada 71 persen yang dijatuhi hukuman rata-rata 2 tahun penjara. Jumlah itu tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Fenomena ini jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Kondisi ini juga bertolak belakang dengan prinsip pemberian efek jera bagi para pelaku tindak pidana kejahatan luar biasa itu.

Putusan hakim tentu saja bukan satu-satunya penyebab terdakwa korupsi divonis bebas atau ringan. Dakwaan jaksa di persidangan yang ala kadarnya, bahkan kerap tidak disertai pembuktian kuat, juga menjadi biang kerok. Fakta di persidangan selama ini membuktikan, tuntutan jaksa yang ringan disertai pembuktian lemah selalu berujung vonis bebas atau ringan.

Kualitas tuntutan jaksa di persidangan memang selalu linier dengan bagaimana kasus tersebut mulai diusut. Jika menghendaki kualitas dakwaan dan pembuktian yang kuat, penegak hukum juga harus menguatkan penanganan kasus sejak tahap penyelidikan.

Pada tahap awal ini, penegak hukum juga harus leluasa menggunakan jerat pidana pencucian uang. Apalagi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sudah memberikan wewenang kepada semua instansi penegak hukum untuk mengusut praktek pencucian uang yang kejahatan awalnya korupsi.

Undang-undang ini juga memiliki jangkauan yang lebih jauh mengungkap praktek korupsi melalui pelacakan aset. Beleid ini juga memiliki jerat pembalikan beban pembuktian, yang bisa sangat efektif melacak kekayaan yang diduga merupakan hasil pidana korupsi. Selama ini, masih banyaknya vonis bebas atau ringan untuk kasus korupsi terjadi karena penegak hukum masih berorientasi pada paham bahwa pembuktian kasus korupsi cukup menggunakan pasal suap atau gratifikasi.

Banyak kasus di KPK yang berujung vonis berat di atas 10 tahun karena terdakwanya dijerat dengan pasal korupsi dan pidana pencucian uang. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, misalnya, divonis 18 tahun penjara dalam kasus suap kuota impor sapi. Ada juga kasus korupsi dan pencucian uang proyek simulator kemudi yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo, yang dihukum 18 tahun penjara.

Ke depan, instansi penegak hukum, terutama KPK, yang menjadi jantung pemberantasan korupsi, harus mengubah paradigma pengusutan korupsi yang sebelumnya berorientasi follow the suspect menjadi follow the money. Upaya ini untuk menjamin kualitas pembuktian perkara yang lebih baik di pengadilan. Dari sisi pengawasan, MA dan Komisi Yudisial juga harus rajin turun ke lapangan untuk memastikan hakim tetap independen dan tidak “masuk angin”.

+++++

KAMIS, 11 FEBRUARI 2016

Satu Fraksi Tolak Revisi UU KPK

 Satu Fraksi Tolak Revisi UU KPK

JAKARTA – Sembilan fraksi menyetujui isi draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rapat pandangan mini-fraksi di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, di Jakarta, kemarin. Satu-satunya fraksi yang menolak revisi adalah Partai Gerindra.

“Dari hasil pandangan mini-fraksi hari ini, selanjutnya akan dibawa ke Bamus (Badan Musyawarah). Nantinya akan diputuskan akan diserahkan ke siapa, apakah kembali ke Baleg atau ke Komisi,” kata Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas, di Kompleks DPR, kemarin. Meski ada penolakan dari Gerindra, Baleg tetap menandatangani draf ini. Seusai rapat itu, kesembilan fraksi yang setuju menandatangani draf revisi undang-undang itu.

Dalam rapat ini, dari pihak pengusul draf hanya hadir Ichsan Soebagyo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Beberapa poin yang disetujui untuk direvisi adalah ihwal jabatan komisioner KPK, Dewan Pengawas, wewenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), penyidik dan penyelidik independen oleh KPK, serta wewenang penyadapan.

Hanya Partai Gerindra yang menolak revisi. “KPK lahir dari rezim reformasi dengan niat mulia. KPK menyelamatkan Rp 205 triliun. Secara tidak langsung, revisi ini mengebiri langkah KPK,” kata Aryo Djodjohadikusumo, perwakilan Gerindra di Badan Legislasi, kemarin.

Sikap Presiden Joko Widodo tak berubah soal revisi Undang-Undang KPK. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan Presiden meminta agar revisi tidak keluar dari empat poin yang diusulkan pemerintah. “Tadi beliau bilang menyangkut UU KPK. Kalau lari dari situ (empat poin), kita tidak mau Pak Luhut. Saya tidak mau yang aneh-aneh,” kata Luhut setelah bertemu dengan Jokowi, di Kompleks Istana, kemarin.

Luhut mengatakan Presiden tetap berkukuh pada empat poin saja untuk perubahan itu, yaitu kewenangan mengeluarkan SP3, pembentukan Dewan Pengawas KPK, penyadapan, dan penyidik independen. Ia mencontohkan, misalnya dalam draf yang diajukan DPR penyadapan harus meminta izin pengadilan, pemerintah akan menarik diri.

Mengenai penyadapan, Luhut mengatakan, KPK tetap memiliki kewenangan itu dan tidak perlu meminta izin kepada siapa pun, termasuk kepada Dewan Pengawas. “Kalau dia mau nyadap, ya, nyadap saja. Yang penting ada mekanismenya penyadapan itu di internal mereka,” katanya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan pemerintah menunggu draf resmi dan final dari DPR mengenai revisi UU KPK. Ia memastikan pemerintah akan menarik diri jika usulan revisi keluar dari empat poin yang ditetapkan pemerintah. “Yang pasti, kalau keluar misalnya penyadapan (harus seizin) dari pengadilan, itu pasti kita tidak terima. Jadi, standard operational procedure-nya yang kita perkuat,” katanya. EGI ADYATAMA | ANANDA TERESIA

December 15, 2015

Jika Jadi Ketua KPK, Saut Janji Lupakan Kasus BLBI & Century

Horee para koruptor dan maling bersorak sorai..

Parah nih pilihannya pansel KPK..monyet kurap kayak gini bisa bisa terseleksi.

SELASA, 15 DESEMBER 2015 | 05:54 WIB

Jika Jadi Ketua KPK, Saut Janji Lupakan Kasus BLBI & Century  

Calon pimpinan (capim) KPK Saut Situmorang menyampaikan pendapat saat uji kelayakan dan kepatutan capim KPK di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, 14 Desember 2015. ANTARA/M Agung Rajasa

TEMPO.COJakarta – Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengaku akan melupakan kasus skandal Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) apabila dirinya terpilih menjadi Ketua KPK.

“Century dan BLBI akan saya lupakan karena tidak membuat efisien. Kita menyimpang itu karena sistem,” ujar Saut saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR RI, Jakarta, Senin malam.

Saut mengatakan, prinsip hukum menganut efisiensi dan efektivitas. Sehingga dia mengusulkan agar sebaiknya pemberantasan korupsi dimulai dari titik nol menuju Indonesia yang bebas korupsi.

“Mari kita mulai dari yang baru. Mari kita bangun Indonesia dari zero to zero, kita mulai dari nol, membuat korupsi nol di Indonesia, tapi harus kerja sama,” ujar Saut.

Ditanya soal komitmennya menyelamatkan uang negara, Saut mengatakan, “Ya, betul (berkomitmen selamatkan uang negara). Tapi uangnya (Century-BLBI) itu sekarang di mana, kita bicara efisiensi.”

Pada Senin, Komisi III DPR RI melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap sejumlah calon pimpinan KPK. Proses ini dijadwalkan akan berlangsung selama tiga hari hingga Rabu (16/12).

ANTARA

December 10, 2015

Kembalikan Gratifikasi Rp 3,9 M, Sudirman Said Diganjar Penghargaan KPK

Kamis 10 Dec 2015, 18:28 WIB

Avitia Nurmatari – detikNews
Kembalikan Gratifikasi Rp 3,9 M, Sudirman Said Diganjar Penghargaan KPKFoto: Rengga Sancaya
Bandung – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penghargaan gratifikasi kepada , Kementerian/Lembaga/BUMN/BUMD/Pemerintah Daerah. Tahun ini ada 19 penerima penghargaan, salah satunya Menteri ESDM Sudirman Said.

PLH Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, Penghargaan Gratifikasi merupakan ajang tahunan Direktorat Gratifikasi yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Antikorupsi se-Dunia.

“Tujuannya untuk memberikan apresiasi atas kesadaran dan kemauan penyelenggara negara dan Pegawai Negeri Sipil dalam melaporkan penerimaan gratifikasi,” ujarnya dalam jumpa pers dalam Festival Antikorupsi di Sabuga, Jalan Tamansari Bandung, Kamis (10/12/2015).

Untuk tahun 2015 ini terdapat 19 kategori penghargaan yang diberikan. Ini dia para penerima Penghargaan Gratifikasi.

1. Sudirman Said, Menteri ESDM. Peringkat pertama pegawai negeri/penyelenggaran negara dengan nilai gratifikasi terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara tahun 2015 yakni senilai Rp 3.966.313.978

2. Askolani, Dirjen Anggaran Kemenkeu. Peringkat kedua pegawai negeri/penyelenggaran negara dengan nilai gratifikasi terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara tahun 2015 yakni senilai SGD 100.000

3. Untung Suseno Sutarjo, Sekjen Kementrian Kesehatan. Peringkat ketiga pegawai negeri/penyelenggaran negara dengan nilai gratifikasi terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara tahun 2015 yakni senilai Rp 100.000.000

4. Kementerian ESDM RI. Sebagai kementerian/Lembaga yang telah menerapkan pengendalian gratifikasi dengan nilai gratifikasi terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara tahun 2015. Senilai Rp 4.081.634.978 dan THB 3.200

5. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai Pemerintah Daerah  yang telah menerapkan pengendalian gratifikasi dengan nilai gratifikasi terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara tahun 2015. Senilai Rp 167.850.000 dan JPY 100.000

6. PT Pertamina. Sebagai BUMN/D  yang telah menerapkan pengendalian gratifikasi dengan nilai gratifikasi terbesar yang ditetapkan menjadi milik negara tahun 2015. Senilai Rp 153.236.327,  USD147 dan EUR33.

7. PT Pertamina. Sebagai BUMN/D yang telah menerapkan pengendalian Gratifikasi dengan jumlah Laporan Gratifikasi terbanyak tahun 2015. Sebanyak 239 laporan.

8. Kementerian Kesehatan RI. Sebagai Kementrian yang telah menerapkan pengendalian Gratifikasi dengan jumlah Laporan Gratifikasi terbanyak tahun 2015. Sebanyak 104 laporan.

9. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sebagai Pemerintah Daerah yang telah menerapkan pengendalian Gratifikasi dengan jumlah Laporan Gratifikasi terbanyak tahun 2015. Sebanyak 31 laporan.

10. PT Bank Mandiri. BUMN/D dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik I tahun 2015.

11. PT Garuda Indonesia. BUMN/D dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik II tahun 2015.

12. PT BPD Jawa Barat dan Banten. BUMN/D dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik III tahun 2015.

13. PT Pertamina. BUMN/D dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik harapan I tahun 2015.

14. PT Pupuk Indonesia. BUMN/D dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik Harapan II Tahun 2015.

15. Kementerian Kesehatan RI. Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik I Tahun 2015.

16. Kementerian Kebudayaan Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik II Tahun 2015.

17. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik III Tahun 2015.

18. Kementerian ESDM. Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik Harapan I Tahun 2015.

19. Mahkamah Konstitusi RI. Kementrian/Lembaga/Pemerintah Daerah dengan Unit Pengendali Gratifikasi Terbaik Harapan II Tahun 2015.

(avi/Hbb)

October 29, 2015

Cerita Johan Budi yang Geram dengan Istri Koruptor  

Tidak hanya istri tapi anak- cucu-cicit..nyontoh Mbah Soeharto, Pak !

KAMIS, 29 OKTOBER 2015 | 06:36 WIB

Cerita Johan Budi yang Geram dengan Istri Koruptor   

Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi memberikan keterangan pers terkait penetapan tersangka baru di Gedung KPK, Jakarta, 2 Juli 2015. ANTARA/Reno Esnir

TEMPO.CO, Padang – Johan Budi S.P., pelaksana tugas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, mengaku cemas dengan kian meluasnya jejaring koruptor di Tanah Air selama sepuluh tahun terakhir.

Menurut Johan, meski KPK sudah mengungkap pelaku korupsi di Tanah Air, jejaring dan modus para koruptor kian membiak. Akibatnya, tak ada lagi entitas yang benar-benar steril dari korupsi.

“Dulu biasanya pelaku korupsi dalam pemikiran kami adalah penegak hukum dan pegawai negeri, sekarang sudah meluas,” kata Johan Budi di Padang, Rabu, 28 Oktober 2015.

Yang bikin Johan kian miris, koruptor kini datang dari kalangan beragam dan berusia muda. Dari politikus, artis, pengusaha, sampai ustad dan pendeta. Bahkan kampus yang dulu bandul penjaga moral mulai ikut terlibat korupsi, terbukti dari beberapa kasus yang ditangani KPK.

Johan juga mengaku geram karena korupsi tak lagi dipahami sebagai sebuah kejahatan luar biasa. Buktinya, dulu, menurut Johan, istri yang suaminya menjadi pejabat akan ikut menjaga pasangannya untuk tidak korupsi dan tetap bersih.

“Yang terjadi sekarang, istri berkolaborasi dengan suami. Ibarat bermain bola, suami gelandang kanan, istri penyerang kiri, tidak jarang lebih aktif istri untuk menggolkan korupsi,” ujar Johan Budi dengan nada geram.

Johan menuturkan saat ini ada tahanan KPK yang berstatus suami-istri, juga anak dan bapak, selain juga kakak dan adik. “Betapa miris kalau melihat situasi korupsi saat ini. Untuk itu KPK melakukan upaya tidak hanya penindakan, tapi juga pencegahan yang dilakukan secara simultan,” tutur Johan.

ANTARA

October 8, 2015

Presiden Joko ternyata Revisian RUU KPK Ternyata Konsep dari Pemerintah !!!

Yang membangkang siapa yaaa ?????   Yang pasti anaknya Mama Banteng !

07 Oct 2015 11:49 PM

Revisian RUU KPK Ternyata Konsep dari Pemerintah

Politisi Terkait
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI)

JAKARTA, BIJAKS – Draf usulan Revisi Undang-Undang KPK menjadi polemik, pasalnya dalam pasal RUU KPK dinilai banyak yang memangkas kewenangan KPK. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Muslim Ayub mengatakan draf RUU KPK berasal dari pemerintah. Hal ini berdasarkan salinan draf yang diterima Baleg DPR dimana tertera logo pemerintah.

Namun draf ini kemudian diusulkan oleh DPR menjadi salah satu RUU prioritas yang harus diselesaikan pada tahun 2015 ini. “Draf itu dari mana ya dari pemerintah kan presiden, pemerintah enggak berterus terang, itu kan ada logo pemerintah yang mengajukan itu pemerintah, kita pengusul,” kata Ayub di Gedung DPR Senayan Jakarta, Rabu (7/10).

Dia menjelaskan RUU itu sudah pernah diajukan pemerintah dan masuk prolegnas 2015-2019, namun DPR menunda untuk dibahas tahun 2016 karena beberapa alasan, seperti protes keras dari masyarakat. Seharusnya, kata Muslim, draf RUU KPK berasal dari DPR karena sebagai pengusul bukan lagi menggunakan draf pemerintah. (rk/pc/ic)

+++++++

Beda dengan Jokowi, Puan Malah Dukung Revisi UU KPK

RABU, 07 OKTOBER 2015 | 19:32 WIB

Beda dengan Jokowi, Puan Malah Dukung Revisi UU KPK  

Menko PMK Puan Maharani bersiap menembak di lapangan tembak kompleks Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, 9 Mei 2015. ANTARA/Humas Menko PMK

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mendukung revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Puan setuju dengan usul yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.

“Kalau memang sudah sangat urgent dan memang diperlukan penguatan kemudian revisi UU, saya ikut apa yang menjadi hal yang diinginkan DPR, fraksi-fraksi yang ada di DPR,” kata Puan di kompleks Istana, Rabu, 7 Oktober 2015.

Puan menilai revisi UU KPK bertujuan menguatkan fungsi lembaga tersebut, bukan untuk melemahkan. Menurut dia, fraksi-fraksi di DPR pasti sudah memiliki mekanisme sendiri sehingga sepakat mengajukan revisi UU KPK. “Kalau ada fraksi yang mengusulkan pasti bukan karena ingin melemahkan, tapi penguatan fungsi agar ke depan bisa menjadi salah satu pilar untuk menjaga negara ini sebagai negara antikorupsi,” ujar Puan.

Mengenai usul pembatasan usia KPK, Puan mengatakan ia tidak mau turut campur. Menurut dia, penentuan “umur” KPK merupakan hasil pertimbangan anggota Dewan di DPR.

Kemarin, Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat pembahasan usul perubahan atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi kemarin. Usul itu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2015.

Bukannya menguatkan, dalam draf itu disebutkan KPK hanya berusia 12 tahun. Pembatasan masa kerja KPK itu tertulis dalam Pasal 5 Rancangan Undang-Undang KPK yang menyatakan KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak UU itu diundangkan. Sejumlah kewenangan KPK pun bakal dipreteli, antara lain penyadapan dan penuntutan.

Lewat Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Presiden Joko Widodo menolak revisi tersebut. Alasannya, revisi itu bukan untuk menguatkan KPK, tapi malah melemahkannya.

ANANDA TERESIA

+++++++

Sikap Presiden Belum Berubah

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum menyampaikan sikap resmi terkait usulan sejumlah anggota DPR agar revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015 dan menjadi inisiatif DPR.

Namun, Menteri Sekretaris Negara Pratikno memberikan sinyal, Presiden Joko Widodo belum beranjak dari sikapnya pada Juni lalu yang menolak revisi UU KPK. “(Masih) Merujuk pada pernyataan sebelumnya. Setahu saya begitu. Belum ada (pernyataan baru dari Presiden),” kata Pratikno, Rabu (7/10), di Kompleks Istana Negara.

Juni lalu, Presiden menegaskan menolak revisi UU KPK. Hal itu disampaikan beberapa hari setelah dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR, 16 Juni, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyatakan, pemerintah akan merevisi UU KPK (Kompas, 17/6).

Salah satu dari 15 anggota Fraksi PDI-P di DPR yang mengusulkan revisi UU KPK, Masinton Pasaribu, menuturkan, sebelum Presiden menyampaikan penolakan, Kemenkumham telah membuat draf revisi UU KPK berikut naskah akademiknya.

Ketentuan baru

Menurut Masinton, dalam draf revisi UU KPK yang dibuat pemerintah telah ada sejumlah ketentuan baru, seperti KPK akan dibubarkan 12 tahun setelah draf RUU itu resmi disahkan dan KPK hanya berwenang menangani kasus dengan kerugian negara di atas Rp 50 miliar.

DPR, lanjutnya, lalu membuat sejumlah penyesuaian terhadap draf revisi UU KPK buatan pemerintah itu. Hasil kerja DPR ini lalu dibagikan kepada anggota Baleg DPR, 6 Oktober lalu.

Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana menyatakan belum dapat berkomentar. “Nanti, ditunggu saja. Kami belum tahu perkembangannya,” ujarnya.

Masinton mengatakan, berkas usulan revisi UU KPK beredar di DPR sejak September. Persisnya saat Panitia Seleksi Pimpinan KPK mengumumkan delapan unsur calon pimpinan KPK yang akan diserahkan kepada Presiden, 1 September. DPR ingin memakai pergantian pimpinan KPK pada Desember 2015 sebagai momentum merevisi UU KPK.

Ia menegaskan, peredaran usulan revisi UU KPK di fraksinya atas izin Ketua Fraksi PDI-P Olly Dondokambey.

Anggota Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya, mengatakan, berkas usulan revisi UU KPK beredar di fraksinya sejak minggu lalu, lengkap dengan draf RUU-nya. “Saya tanda tangan, lalu mengusulkan dua poin. Pertama, mekanisme penyadapan harus diatur. Kedua, harus ada badan yang mengawasi kinerja KPK,” kata Tantowi, satu dari sembilan anggota Fraksi Golkar yang menandatangani usulan revisi UU KPK.

(WHY/AGE/B08/NTA)

++++++++++++++++++++++

Revisi UU KPK, PDIP Dianggap Khianati Rakyat

KAMIS, 08 OKTOBER 2015 | 06:39 WIB
Koordinator Monitoring dan Investigasi Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Indonesia Muhammad Hendra Setiawan (kiri), Peneliti Divisi Investigasi ICW Tama Satya Langkun (tengah) dan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febridiansyah saat jumpa pers terkait rencana revisi UU KPK oleh DPR, di kantor ICW, Jakarta. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

TEMPO.CO, Jakarta – Aktivis antikorupsi, Emmy Hafild, meminta agar semua partai di Dewan Perwakilan Rakya menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Khususnya, Emmy meminta hal tersebut kepada anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Sejumlah anggota fraksi PDIP di DPR diketahui mendukung revisi undang-undang ini. “Waduh, kacau sekali PDIP. PDIP kan yang dulu membuat UU itu,” kata Emmy saat dihubungi Tempo, Rabu 7 Oktober 2015. Menurutnya, PDIP seharusnya menolak. “UU itu yang bikin Ibu Megawati sendiri, kok sekarang mau direvisi.”

Emmy mengaku mengingat betul proses pembuatan UU KPK pada 2003. “Waktu kami ikut menyusun UU itu. Di DPR mayoritasnya kan PDIP,” ucap Emmy. Emmy mengatakan saat itu ia anggota tim perumus undang-undang yang bekerja dengan politisi PDIP. (Lihat video Ini Alasan Deponering Kasus Bambang Widjojanto)

Menurut Emmy, jika benar PDIP mendukung revisi ini, berarti PDIP menghianati reformasi. “PDIP menghianati bangsa. Saya minta Ibu Mega jangan menghianati reformasi.”

Menurut Emmy, PDIP memenangi pemilihan umum 1999 karena salah satu ide Megawati Soekarnoputri adalah antikorupsi. “Tetapi kemudian banyak anggota PDIP yang menghianati. Semoga Jokowi dapat meyakinkan ibu Mega untuk menolak (revisi) itu,” kata dia.

Sejumlah anggota DPR mengusulkan agar UU KPK direvisi. Fraksi yang paling ngotot adalah PDIP. Dalam draf revisi tersebut, DPR mengusulkan agar KPK bisa dibubarkan dalam 12 tahun. Selain itu, sejumlah kewenangan KPK seperti penututan juga diamputasi.

REZKI ALVIONITASARI

September 18, 2015

Kejanggalan Lain Pengadaan Crane Pelindo II

KAMIS, 17 SEPTEMBER 2015

 Kejanggalan Lain Pengadaan Crane Pelindo II

Iklan yang dipasang PT Pelabuhan Laut Indonesia (Pelindo) II di halaman depan dua surat kabar nasional membuat geram Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Ia itu tak habis pikir dengan belanja iklan yang dianggapnya tak masuk akal itu. “DPR seharusnya mempertanyakan, BUMN bisa pasang iklan empat halaman yang nilainya miliaran itu, duitnya dari mana?” kata Rizal pada Senin lalu.

Kontroversi dalam belanja Pelindo yang dipimpin Direktur Utama Richard Joost Lino bukan kali ini saja terjadi. Kasus yang sedang panas saat ini adalah pengadaan 10 mobile crane pada 2011 yang diduga merugikan negara Rp 45,65 miliar. Kasus tersebut sedang ditangani Badan Reserse Kriminal Polri. Ada pula masalah yang belum menjadi persoalan hukum, yakni pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) pada 2010 yang juga diduga menyimpang.

Dugaan penyimpangan itu didapat berdasarkan laporan hasil audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam pengantar laporan BPKP bertanggal 1 April 2011 yang salinannya diperoleh Tempo disebutkan pengadaan tiga QCC twin lift berkapasitas aktual 262.500 boks per tahun itu dilakukan melalui pembelian langsung.

“Proses pengadaan kurang memperhatikan rencana kebutuhan perusahaan serta mengabaikan persyaratan teknis yang digunakan di PT Pelindo II,” demikian petikan dalam laporan itu.

Kepala BPKP Ardan Adiperdana enggan berkomentar banyak tentang laporan audit tersebut. “Audit yang dilakukan BPKP banyak sekali. Saya tidak ingat satu per satu,” kata Ardan, Selasa lalu. Lagi pula, Ardan melanjutkan, ia tidak berwenang mengungkap hasil audit. Hasil audit dilaporkan ke pengguna, dalam hal ini Komisaris Utama Pelindo II yang meminta diadakannya audit investigatif tersebut.

“Tindak lanjut hasil audit juga tergantung pada user,” kata Ardan.

Sumber Tempo yang mengetahui seluk-beluk pengadaan itu mengatakan ada empat dugaan penyimpangan dalam pengadaan QCC. Tiga di antaranya adalah pengarahan kepada perusahaan yang tidak memenuhi syarat melalui penunjukan langsung, rekayasa spesifikasi pengadaan, serta rekayasa pagu anggaran.

BPKP menemukan bahwa pengadaan tiga QCC ini dilakukan oleh Wuxi Hua Dong Heavy Machinery (HDHM). Padahal, berdasarkan nota dinas Kepala Biro Pengadaan bertanggal 3 Maret 2010, HDHM dinyatakan tidak lulus evaluasi administrasi dan teknis. Sumber Tempo mengatakan HDHM bukanlah perusahaan peralatan bongkar-muat yang memiliki reputasi internasional seperti Doosan, Kone, Mitsubishi, atau Mitsui.

Harga penawarannya pun di atas harga owner estimate (OE). Tapi, nyatanya, HDHM malah ditunjuk langsung sebagai pemenang. “Ada keterkaitan masa lalu antara HDHM dan Lino. QCC pertama yang diproduksi HDHM pada 2007-2009 digunakan Pelabuhan AKR, Guangxi, dan pada saat itu Lino menjadi managing director,” kata dia.

Adapun rekayasa spesifikasi diduga dilakukan HDHM dengan memasukkan penawaran di luar rencana kerja dan syarat dengan spesifikasi 50 ton yang dinegosiasi menjadi 60 ton. HDHM juga memaksakan dua pelabuhan lain, yaitu di Palembang dan Pontianak, yang sebetulnya tidak membutuhkan QCC. Padahal, sesuai dengan evaluasi, pengadaan dilakukan hanya untuk Pelabuhan Panjang.

Dari hal itu, rekayasa pagu anggaran tercium. Bagi tiga pelabuhan tersebut, penawaran HDHM untuk QCC twin lift berkapasitas 50 ton adalah US$ 16,6 juta dengan biaya perawatan Rp 26,88 juta. Dari hasil negosiasi, nilai pengadaan QCC 60 ton itu adalah US$ 16,93 juta dengan biaya perawatan Rp 26,88 juta.

“Diduga ada perbuatan melawan hukum dengan menaikkan pagu dana tanpa izin Kementerian BUMN, sehingga diduga terjadi potensi kerugian negara berkisar US$ 1.596.383,” kata sumber.

Direktur Utama Pelindo II R.J. Lino tak merespons saat Tempo meminta konfirmasi atas tudingan tersebut. Pesan pendek yang dilayangkan tak berbalas, panggilan telepon pun tak dijawab. Sekretaris Perusahaan Pelindo II Banu Astrini juga enggan menjawab. “Saya sedang di luar kota, sejak sepekan lalu,” kata dia.AMIRULLAH | KHAIRUL ANAM | INEZ CHRISTYASTUTI HAPSARI


Nama-nama dalam Hasil Audit

Hasil audit investigatif BPKP terhadap pengadaan tiga QCC mencantumkan sembilan nama pejabat PT Pelindo II yang terkait dengan dan bertanggung jawab atas proses pengadaan itu. Di antaranya:

1. R.J. Lino, Direktur Utama

Memerintahkan dan mengarahkan melalui disposisi ataupun catatan khusus di memo dinas kepada bawahannya untuk melakukan pengadaan tiga unit QCC twin lift yang tidak sesuai dengan ketentuan.

2. Ferialdy Noerlan, Direktur Operasi dan Teknik

Memberikan masukan dan laporan melalui nota dinas yang tidak benar kepada direktur utama tentang pelaksanaan pengadaan.

3. Dawam Atmosudiro, Kepala Satuan Pengawas Internal

Tidak memeriksa pengadaan tiga unit QCC sejak proses bermula.

4. Armen Amir, Kepala Biro Hukum

Tidak melakukan supervisi dari sisi hukum terhadap proses pengadaan tiga unit QCC.

5. Haryadi Budi Kuncoro, Senior Manager Peralatan

Tidak cermat dalam melakukan tugas sebagai bagian dari technical team karena tidak mengevaluasi dokumen kemampuan teknis HDHM.

6. Wahyu Hardiyantoro, mantan Kepala Biro Pengadaan

Melakukan pengadaan tiga unit QCC yang menyimpang dari pedoman dan ketentuan direksi.AMIRULLAH | KHAIRUL ANAM

September 16, 2015

Korupsi Membuat Indonesia Terempas

Terhempas dan kecebur dalam lumpur kegelapan.

Mengenai dampak korupsi terhadap perekonomian, ada dua teori besar yang kerap diperdebatkan: sebagai pelumas roda pembangunan (grease the wheels hypothesis/GWH) atau sebagai pasir/penghambat roda pembangunan (sand the wheels hypothesis/SWH). Dunia cenderung menyetujui teori SWH karena negara-negara maju umumnya memiliki tingkat korupsi yang rendah.

Transparency International Indonesia meluncurkan laporan survei mengenai Persepsi Korupsi 2015, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (15/9). Survei terhadap 1.100 pengusaha dilakukan di 11 kota di Indonesia pada 20 Mei-17 Juni 2015.
KOMPAS/LASTI KURNIATransparency International Indonesia meluncurkan laporan survei mengenai Persepsi Korupsi 2015, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (15/9). Survei terhadap 1.100 pengusaha dilakukan di 11 kota di Indonesia pada 20 Mei-17 Juni 2015.

Lantas, mengapa di Indonesia, terutama pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, pemberantasan korupsi dinilai telah menghambat pembangunan? Apakah berarti Indonesia merupakan salah satu negara di mana grease the wheels hypothesis berlaku?

Jika melihat data pertumbuhan ekonomi sejak Orde Baru hingga Reformasi, akan ditemukan sejumlah hal menarik. Pada era Orde Baru yang dipimpin Soeharto, pemerintahan dinilai cenderung diktator, sentralistik, dan koruptif. Tidak ada transparansi anggaran, tidak terdengar pula upaya pemberantasan korupsi secara serius. Tak ada lembaga independen, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi.

Namun, faktanya, pada era itu Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi sepanjang sejarah, yakni 9,9 persen pada 1981. Pertumbuhan relatif tinggi juga terjadi tahun 1990-an. Pada 1994, misalnya, pertumbuhan mencapai 7,3 persen, lalu melonjak menjadi 8,4 persen (1995), dan kemudian 7,8 persen (1996). Indonesia pun digadang-gadang sebagai salah satu macan Asia.

Krisis moneter pun membuka borok korupsi dan mengempaskan gelembung perekonomian. Setelah krisis, Indonesia memasuki era Reformasi. Semangatnya adalah membangun demokrasi dan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.

Di tengah dahsyatnya perang melawan korupsi pada era Reformasi, bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia? Ternyata Indonesia tidak bisa lagi menyamai pencapaian Orde Baru. Selama era Reformasi, pertumbuhan ekonomi cuma berkisar 4-6 persen, dengan pertumbuhan terbaik pada 2011 sebesar 6,49 persen.

Kendati demikian, hingga akhir kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2014, pemberantasan korupsi tidak pernah dituding sebagai biang keladi atau bahkan tidak dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah.

Situasi berubah pada era kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. KPK yang sedang ganas-ganasnya menghancurkan korupsi justru terkesan dilemahkan. Aksi-aksi KPK memang tidak memberikan manfaat secara langsung terhadap perekonomian. Namun, pemberantasan korupsi oleh KPK menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke depan sebab yang diberantas oleh KPK adalah esensi korupsi, yakni korupsi politik.

Arnold Heidenheimer dan Michael Johnston (ed) dalam buku Political Corruption: Concept & Contexts menggambarkan korupsi politik sebagai korupsi yang dilakukan aktor-aktor politik di eksekutif ataupun legislatif dengan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompok politik.

Di Indonesia, korupsi politik berkaitan dengan patronage democracy, yakni hubungan antara orang yang memegang jabatan politik dengan orang yang memiliki kekayaan dan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis memberikan dana kepada pejabat publik agar menggunakan wewenang dan pengaruh untuk menguntungkan pelaku bisnis. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, korupsi politik jadi sumber dari segala korupsi.

Dampak pemberantasan korupsi politik tentu berbeda dengan korupsi birokrasi yang sebenarnya merupakan turunan dari korupsi politik. Pada korupsi birokrasi, manfaatnya terhadap perekonomian mungkin bisa dirasakan langsung. Namun, tidak bertahan lama jika korupsi politiknya atau orang-orang kuat di baliknya tidak ikut diberangus.

Pada kasus dwelling time (masa tunggu bongkar muat) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, misalnya, manfaatnya tentu bisa dirasakan langsung oleh eksportir/importir karena tak lagi harus membayar pungli.

Penyidikan kasus dwelling time tersebut sangat diapresiasi Presiden Jokowi sebab manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dan perekonomian. Bahkan, tim satuan tugas (satgas) yang menangani kasusdwelling time diminta pula untuk memberantas korupsi di sektor-sektor ekonomi lainnya.

Kondisi itu memperlihatkan pemerintah lebih menyukai pemberantasan korupsi yang diarahkan pada titik-titik yang menghambat perekonomian sehingga dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Saat peringatan HUT Adhyaksa di Kejaksaan Agung, Juli lalu, Presiden Jokowi mengatakan, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum sejatinya harus mendukung pembangunan.

Sikap pemerintah yang terkesan lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang pemberantasan korupsi yang tegas dan tanpa kompromi tentu bisa dipahami. Maklum, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2015 hanya 4,67 persen secara tahunan.

Korupsi, dalam satu momentum, mungkin saja bisa menjadi pelumas roda pembangunan. Namun, dipastikan tidak bertahan lama. Negara yang membiarkan korupsi merajalela selamanya tidak akan makmur.

Berbagai penelitian menunjukkan, dalam jangka menengah panjang, korupsi berdampak negatif terhadap perekonomian. Hasil kajian organisasi nonpemerintah (NGO) global menunjukkan, semakin parah tingkat korupsi di suatu negara, semakin tinggi ketimpangan pendapatan di negara itu.

Hal itu sejalan dengan pandangan Vito Tanzi, ekonom dari Universitas Harvard, yang menyatakan bahwa korupsi menurunkan kemampuan pemerintah mencegah dan mengendalikan kegagalan pasar. Penelitian D Treisman bertajuk “The Causes of Corruption: A Cross-National Study” dalamJournal of Public Economics (2000) menemukan bukti ada hubungan terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin rendah kinerja ekonomi negara itu.

Terbukti, negara maju, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal zero corruption. Sebaliknya, negara miskin, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, tingkat korupsinya tertinggi.

Indonesia memang pernah mencatat pertumbuhan tinggi saat korupsi merajalela pada era Orde Baru. Akan tetapi, ingat, korupsi pulalah yang membuat negeri ini terempas begitu dalam saat krisis 1998.

June 4, 2015

Korupsi Gerogoti Kekayaan Negara

Dalam buku One Man’s View of The World yang dirilis dua tahun sebelum berpulang, Lee Kuan Yew mengatakan, Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber alam melimpah. Kekayaan alam itu semestinya bisa dijadikan salah satu modal untuk berkembang menjadi negara maju.

Namun, Indonesia tak kunjung menjadi negara maju. Menurut pendiri Singapura itu, salah satu faktor penghambat kemajuan Indonesia adalah korupsi. Akibat ko- rupsi, satu per satu kekayaan alam Indonesia habis tanpa menciptakan kemakmuran pada generasi-generasi berikutnya.

Pada 1970-an, Indonesia booming minyak bumi. Namun, tidak bisa dimanfaatkan.Sekarang, ironisnya, Indonesia justru menjadi importir minyak. Pada 1980-an, Indonesia kembali kehilangan kesempatan dari booming kayu. Saat itu, hutan dibabat dan kayunya dijual secara besar-besaran. Kini, yang tersisa hanyalah hutan-hutan gundul dan rusak.

Dekade berikutnya, lagi-lagi Indonesia tidak mampu membangun fondasi ekonomi dari booming tambang dan batubara. Padahal, lahan-lahan telah dikeruk, menyisakan bencana bagi generasi berikutnya. Keberlimpahan sumber daya alam Indonesia tak menjadi apa-apa karena digerogoti korupsi.

Berbagai penelitian di dunia menunjukkan, ada korelasi erat antara korupsi dan perekonomian. Paolo Mauro, ekonom Harvard University, misalnya. Dalam tulisannya, “Corruption and Growth” yang dimuat dalam Quarterly Journal of Economics, Mauro sepakat dengan “sand the wheels hypothesis” atau hipotesis yang menyatakan bahwa korupsi merupakan pasir bagi roda pembangunan.

Dampak korupsi terhadap pembangunan juga bisa diukur dengan berbagai indikator. Transparency International (TI), misalnya, membandingkan indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) suatu negara dengan sejumlah indikator ekonomi, seperti produk domestik bruto, tingkat pengangguran, dan indeks gini yang menunjukkan ketimpangan pendapatan.

Hasil kajian NGO global anti korupsi itu menunjukkan, semakin parah tingkat korupsi di suatu negara, semakin tinggi ketimpangan pendapatan yang terjadi di negara tersebut. Artinya, korupsi membuat si kaya semakin kaya dan si miskin tambah miskin.

Hal ini sejalan dengan pikiran Vito Tanzi, ekonom Harvard lainnya, yang menyatakan bahwa korupsi menurunkan kemampuan pemerintah mencegah dan mengendalikan kegagalan pasar. Hasil analisis TI juga menunjukkan, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin tinggi pula tingkat pengangguran di negara bersangkutan.

Selanjutnya, hasil penelitian D Treisman (2000) bertajuk “The Causes of Corruption: A Cross-National Study” yang dimuat dalam Journal of Public Economics menemukan bukti ada hubungan terbalik antara korupsi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi korupsi di suatu negara, semakin rendah kinerja ekonomi negara tersebut.

Terbukti, negara maju, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal sebagai negara-negara zero corruption. Sebaliknya, negara-negara miskin, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi.

Dalam Naskah Akademik Prakarsa Bulaksumur Anti Korupsi, akademisi UGM, Rimawan Pradiptyo, menyebutkan, korupsi juga akan menciptakan adverse selection masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di suatu negara. Para investor dari negara dengan tingkat korupsi rendah cenderung memilih investasi ke negara yang sama-sama memiliki tingkat korupsi rendah dan sebaliknya.

Sekjen TI Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, berdasarkan CPI 2014 yang dirilis TI, Indonesia hanya mendapat skor 34 (dari skala 100) atau di bawah skor rata-rata dunia yang sebesar 43. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di posisi ke-107 dari 174 negara.

Dengan tingginya korupsi, tak heran dalam survei Doing Business 2015 yang dirilis World Bank, Indonesia di posisi ke-114 dari 189 negara dengan skor 59,15 dalam skala 0-100. Indonesia dinilai masih buruk dalam beberapa hal, seperti proses perizinan yang lama, perlindungan usaha, dan administrasi pertanahan.

Terkait perizinan dan pelayanan publik, survei Global Corruption Barometer yang dikeluarkan TII menunjukkan, 4 dari 10 warga Indonesia membayar suap untuk mendapat pelayanan publik. Selain itu, 36 persen masyarakat membayar suap untuk mengakses 8 jenis layanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan air, pajak, tanah, kepolisian, serta hukum.

Negara maju

Korupsi yang amat masif jelas sangat menghambat pertumbuhan ekonomi. Uang yang seharusnya digunakan untuk investasi membangun infrastruktur malah dirampok koruptor.

Rimawan Pradiptyo mengatakan, berdasarkan kajiannya, total kerugian negara dalam kurun waktu 2001-2012 akibat korupsi mencapai Rp 162 triliun. Sementara untuk 2014, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyebutkan, total kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp 5,29 triliun.

Dilihat dari potensinya, nilai korupsi di Indonesia amatlah besar. Berdasarkan riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, potensi korupsi yang dilakukan penyelenggara negara pada 2014 mencapai Rp 1.792 triliun. Angka itu diperoleh dari transaksi mencurigakan dan transaksi tunai yang diduga dilakukan penyelenggara negara.

Andaikan dana itu digunakan untuk membangun jalan tol, pelabuhan, irigasi, bandara, peru- mahan, dan infrastruktur lain, tentu perekonomian Indonesia melesat cepat.

Dalam lima tahun terakhir (2010-2014), rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik, hanya 6,02 persen dengan kecenderungan menurun. Pada triwulan I-2015, pertumbuhan ekonomi bahkan anjlok ke level 4,71 persen.

Untuk menghela pertumbuhan ekonomi, mutlak dibutuhkan biaya investasi. Pada 2013, misalnya, total investasi yang dikeluarkan untuk menumbuhkan perekonomian ke level 5,65 persen adalah Rp 2.876 triliun. Dana investasi itu berasal dari berbagai sumber, seperti belanja modal pemerintah, pasar modal,capital expenditure BUMN, PMA/PMDN, dan kredit perbankan.

Pada 2013 itu, investasi yang dikeluarkan pemerintah, menurut data Kementerian Keuangan, mencapai Rp 356,74 triliun atau 12,4 persen dari total investasi. Dana tersebut berupa belanja modal dan anggaran pembangunan pemerintah pusat dan daerah. Namun, akibat ko- rupsi, tidak semua dana investasi itu menjadi output dalam bentuk pendapatan nasional.

Dalam sejumlah kasus korup- si yang disidangkan di Pengadilan Tipikor, korupsi APBN biasanya dilakukan oknum-oknum birokrat melalui pengadaan barang dan jasa. Modus yang banyak dipakai adalah penggelembungan (mark up) nilai proyek dan rekayasa tender. Modus semacam ini terjadi pada sejumlah perkara, antara lain proyek pembangunan sarana olahraga terpadu Hambalang di Kemenpora dan proyek pengadaan simulator SIM roda dua dan empat di Korlantas Polri. Ada juga oknum yang menganggarkan proyek fiktif dalam APBN.

Untuk menjadi negara maju, tak ada jalan lain, Indonesia harus mencapai pertumbuhan 7-9 persen setiap tahun. Nah, laju pertumbuhan seperti itulah yang coba dibidik pemerintahan JKW-JK dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi berkisar 6,9-7,8 persen pada 2016-2018. Pertanyaannya, mampukah pemerintahan JKW-JK memberantas korupsi?

Yang jelas, tanpa korupsi, tidak hanya belanja pemerintah yang dapat dioptimalkan, tetapi juga penerimaan negara dapat meningkat signifikan, mengingat tak ada lagi pajak yang dikorupsi dan kekayaan alam yang hilang.

Sebab, dengan dampak yang menyengsarakan masyarakat, korupsi termasuk kejahatan kemanusiaan. Maka, seperti kata Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden, perilaku atau tindakan anti korupsi merupakan bentuk patriotisme.

May 27, 2015

Permohonan Praperadilan Hadi Dikabulkan

Putusan  Hakim Mengacaukan

JAKARTA, KOMPAS — Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi, yang mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo mengacaukan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Putusan itu bisa dijadikan dasar terpidana korupsi mengajukan proses hukum selanjutnya.

Hadi Poernomo Menang - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi mengabulkan permohonan gugatan praperadilan penetapan tersangka mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan itu dibacakan Haswandi selaku hakim tunggal dalam agenda sidang putusan praperadilan penetapan tersangka Hadi Poernomo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (26/5) petang. Tampak mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernono menyempatkan diri berdoa saat jalannya persidangan.
KOMPAS/ALIF ICHWANHadi Poernomo Menang – Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi mengabulkan permohonan gugatan praperadilan penetapan tersangka mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan itu dibacakan Haswandi selaku hakim tunggal dalam agenda sidang putusan praperadilan penetapan tersangka Hadi Poernomo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (26/5) petang. Tampak mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernono menyempatkan diri berdoa saat jalannya persidangan.

Dalam putusannya, Haswandi, Selasa (26/5), menyatakan, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Hadi Poernomo batal demi hukum dan harus dihentikan. Ini karena penyelidik dan penyidik KPK yang saat itu bertugas mengusut kasus Hadi sudah berhenti tetap dari kepolisian dan kejaksaan. Mereka juga dinilai belum berstatus sebagai penyelidik dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) meski telah diangkat secara resmi oleh KPK.

Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menilai, putusan hakim Haswandi melampaui permohonan yang diajukan karena juga meminta KPK menghentikan penyidikan perkara korupsi dengan tersangka Hadi Poernomo.

”Pemohon hanya mohon bahwa penyidikan KPK tidak sah. Namun, hakim malah memutuskan memerintahkan menghentikan penyidikan. Ini bertentangan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan KPK tidak boleh menghentikan penyidikan,” tutur Ruki.

Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi menambahkan, putusan itu juga membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasalnya, dalam putusan praperadilan sebelumnya yang mempersoalkan keabsahan penyidik KPK, hakim memutuskan pengangkatan penyidik KPK adalah sah.

”Jika penyelidik dan penyidik KPK dalam menjalankan tugasnya mengusut kasus korupsi dianggap tidak sah, banyak perkara korupsi yang ditangani KPK juga menjadi tidak sah,” kata Johan.

Masalah serius

Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menuturkan, dalam banyak tindak pidana, penyelidikan bisa dilakukan oleh aparat bukan Polri, seperti dalam kasus tindak pidana kehutanan, lingkungan, imigrasi, pajak, hingga bea dan cukai.

Dengan demikian, lanjut Indriyanto, putusan Haswandi akan jadi permasalahan yang serius bagi penegakan hukum, tak hanya dalam soal korupsi. Putusan itu juga berdampak pada kemungkinan tidak sahnya penegakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum lain karena penyelidikannya tidak dilakukan oleh polisi.

content
,,

”Karena pengangkatan penyelidik tidak sah, maka penyidikan dianggap tidak sah. Dampaknya akan luas, bukan saja terhadap KPK, melainkan juga terhadap aparatur penegak hukum lain,” kata Indriyanto.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Selama ini sejumlah kasus, seperti imigrasi, kehutanan, dan pasar modal, dilakukan oleh penyidik yang bersangkutan, yakni PPNS, tetapi tidak diatur siapa penyelidiknya. ”Artinya, tindak pidana dalam ranah itu dilakukan penyelidik yang tidak sah. Putusan hakim itu menjadi permasalahan yang serius,” ujar Indriyanto.

Penyidik dipermasalahkan

Dalam pertimbangan putusannya, hakim Haswandi juga menyatakan, para penyelidik dan penyidik yang bekerja di KPK harus berstatus penyelidik atau penyidik di institusi sebelumnya. Pertimbangan ini berkaitan dengan tiga penyelidik dalam kasus Hadi yang berasal dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang kemudian diangkat oleh KPK sebagai penyelidik. Padahal, latar belakang ketiganya bukan penyelidik.

Terkait penyidik, nama Ambarita Damanik dipermasalahkan dalam permohonan Hadi. Ambarita diberhentikan tetap dari Polri melalui surat pemberhentian pada 25 November 2014. Setelah keluarnya surat itu, Ambarita langsung diangkat menjadi penyidik pada KPK dan melanjutkan penyidikan kasus Hadi.

Haswandi menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sesuai regulasi ini, untuk dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil di sebuah institusi, yang bersangkutan harus telah menjalani masa kerja paling singkat dua tahun di institusi tersebut.

”Sejak KPK berdiri, penyelidikan dan penyidikan dilakukan dengan pola para penyelidik dan penyidik yang merupakan mantan anggota Polri diangkat menjadi pegawai tetap KPK. Dengan konstruksi berpikir putusan tadi, ini bisa jadi bahan terpidana mengajukan peninjauan kembali terkait kasus yang ditangani KPK. Ini upaya sistematis untuk mendegradasi KPK,” ujar anggota biro hukum KPK, Yudi Kristiana.

Bola liar

Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril, menilai, lembaga praperadilan telah berevolusi menjadi bola liar yang bisa menyambar ke mana-mana, termasuk menafsirkan keabsahan penyelidik dan penyidik KPK. Apabila hal ini dibiarkan, proses penegakan hukum bisa makin kacau-balau. Karena itu, Mahkamah Agung kembali didesak untuk mengambil inisiatif menghentikan bola liar tersebut dengan menerbitkan aturan-aturan pembatasan.

”Praperadilan itu menguji hal- hal yang sifatnya prosedural, administratif belaka dalam penetapan tersangka. Bukan menilai apakah substansi alat bukti atau substansi kewenangan. Bukan di situ,” ujar Oce.

Menurut dia, KPK secara tegas dinyatakan berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik. ”Selama ini, dalam berbagai eksepsi perkara (dalam pokok perkara pada persidangan korupsi), kewenangan KPK mengangkat penyidik sudah selalu dipersoalkan dan tetap dinyatakan sah. Itu sudah menjadi yurisprudensi, sudah menjadi praktik peradilan,” katanya.

Pasal 43 Ayat (1) UU No 30/2002 menyatakan, penyelidik di KPK diangkat dan diberhentikan oleh komisi itu. Sementara Pasal 45 Ayat (1) menyatakan, penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hadi Poernomo merupakan orang ketiga yang ditetapkan KPK sebagai tersangka, yang kemudian penetapan itu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dua orang lainnya adalah Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Penetapan tersangka Budi Gunawan dinyatakan tidak sah oleh hakim PN Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, pada 16 Februari 2015.

Putusan itu memunculkan polemik karena Pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa obyek praperadilan terbatas pada penangkapan, penahanan, dan penghentian penuntutan. Namun, menurut Sarpin, dengan tidak disebutkan, bukan berarti penetapan tersangka bukan obyek praperadilan.

Pada 28 April 2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan, penetapan tersangka, bersama dengan penggeledahan dan penyitaan, adalah obyek praperadilan.

Putusan MK tersebut menjadi dasar hakim PN Jakarta Selatan, Yuningtyas Upiek K, ketika pada 13 Mei 2015 mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

(IAN/BIL/ANA/RYO)