Korupsi Kartel-Elite Politik


Sabtu,
20 Agustus 2011
Korupsi Kartel-Elite Politik
Haryatmoko

Banyak kasus korupsi besar kalau ditelusuri berujung pada pendanaan partai politik. Salah satunya adalah kasus Nazaruddin. Korupsi kartel-elite ini mirip permainan hiperrealitas di Disneyland.

Hiperrealitas bukan tiruan atau penggandaan realitas, bukan pula parodi, melainkan menggantikan tanda-tanda riil sebagai yang riil itu sendiri. Dengan cara ini, ruang manuver untuk menghindar dari tanggung jawab dipermudah. Mereka yang terlibat korupsi kartel-elite tanpa rasa salah bisa bicara tentang penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan perlunya etika politik.

Skandal wisma atlet menghasilkan imajinasi yang menyembunyikan realitas. Bisa diramalkan, ujung kasus ini tidak lebih nyata daripada korupsi kartel-elite sejenis oleh penguasa-penguasa di masa lalu, yaitu impunitas dan raibnya uang. Korupsi ini melibatkan jaringan partai politik, pengusaha, penegak hukum dan birokrasi. Ini karena partai politik tidak mengakar, tetapi lebih mewakili kepentingan elite, sementara sistem peradilan juga korup dan birokrasi rentan korupsi. Situasi ini membuat politik penuh risiko dan ketidakpastian (Johnston, 2005: 89-90).

Korupsi jenis ini adalah cara elite menggalang dukungan politik dari masyarakat, lembaga legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (Lordon, 2008: 10). Ironinya, semua pimpinan partai atau pejabat publik tanpa canggung bicara tentang pemberantasan korupsi dan dengan fasih masuk ke wacana etika politik.

Fungsi skandal hanya untuk membangkitkan kembali prinsip etika politik. Etika politik diungkit hanya sebagai sarana untuk menghidupkan prinsip realitas yang sudah sekarat, yaitu politik sebagai upaya pelayanan publik. Prinsip ini sebetulnya sudah tidak berfungsi, tetapi perlu diwacanakan agar seolah-olah masih ada.

Membangkitkan prinsip

Dengan mengungkap skandal wisma atlet, dimungkinkan untuk bicara perlunya penegakan hukum dan menghormati etika politik. Inilah yang disebut mantra politik karena sebetulnya etika politik dan penegakan hukum sama sekali sudah diabaikan. Dengan ditangkapnya Nazaruddin, koruptor-koruptor lain bisa merasa lebih bersih karena rasa penasaran dan hasrat balas dendam masyarakat sudah disalurkan ke kambing hitam satu ini.

Akhir skandal sudah bisa diramalkan. Jaringan korupsi tidak terungkap. Pelaku utama tidak terbukti bersalah sesuai prosedur dan ketentuan hukum atau kasus itu justru menjadi kesempatan untuk membersihkan diri secara hukum dan moral. Pengungkap aib (whistle blower) akan diubah statusnya menjadi tertuduh. Uang dalam jumlah besar itu tidak diketahui lagi rimbanya. Lalu ”Jangan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi!” diartikan ”Sebaiknya kasus ditutup dan jangan saling mengganggu jika skandal serupa dilakukan oleh partai lain!”

Ciri khas korupsi kartel-elite adalah sistem peradilan lebih berfungsi sebagai alat membersihkan koruptor dari jeratan hukum dan tanggung jawab moral karena hanya mengesahkan impunitas, bukan lagi lembaga pencari keadilan. Semua kecurigaan terbentur tembok prosedur hukum yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Mereka yang mencurigai dan menuntut pertanggungjawaban akan dituduh melakukan pencemaran nama baik.

Untuk menggambarkan situasi skandal politik seperti itu, Baudrillard memakai istilah negativitas operasional (1981), yaitu upaya membuktikan yang riil melalui yang imajiner. Imajiner dimaksud sebagai distorsi kehidupan yang menghablur ke dalam cetakan kolektif dengan struktur ideal untuk menjadikan yang riil sebagai unsur penggerak (Machado da Silva, 2008:17).

Caranya, membuat skenario untuk menghidupkan prinsip yang sudah sekarat dengan skandal yang disulap menjadi alat untuk bersih diri. Negativitas operasional jadi alibi setiap kekuasaan untuk memutus lingkaran ketidakbertanggungjawaban. Cara ini mau meyakinkan bahwa seakan-akan etika politik dijunjung tinggi.

Lalu, supaya kelihatan nyata, skandal dimanfaatkan sebagai kontrasnya. Maka, untuk menunjukkan keseriusan komitmen pada etika politik, perlu ditegaskan bahwa anggota partai yang tidak mematuhi etika politik diminta meninggalkan partai. Tentu saja tidak akan ada yang meninggalkan partai karena wacana itu hanya berfungsi sebagai mantra politik.

Mantra politik

Skandal Nazaruddin membuka peluang untuk mantra politik, yaitu mengingatkan pentingnya etika politik dan penegakan hukum. Ironinya, koruptor dilindungi oleh asas praduga tak bersalah, ”semua dipercayakan kepada proses hukum” dan dipersenjatai dengan ancaman tuntutan pencemaran nama baik.

Sudah menjadi rahasia umum, aparat hukum juga korup dan memihak yang kuat. Maka, mekanisme mantra politik sangat lazim untuk menutupi sesuatu yang tidak berfungsi. Ketika mau membuktikan bahwa hukum itu dipatuhi justru dengan menunjukkan adanya pelanggaran; pemogokan digunakan untuk membuktikan bahwa mereka sungguh-sungguh bekerja; suatu sistem itu seakan ada dan dibuktikan ketika terjadi krisis. Jadi, skandal membuat mantra politik seakan relevan.

Skandal merupakan jebakan sistem untuk menutupi korupsi kartel-elite menjadi simulasi konflik yang tidak pernah terungkap. Semua hipotesis rekayasa serba mungkin: ada konflik internal partai; ada konspirasi melemahkan Anas Urbaningrum atau mendepaknya; ada upaya melemahkan Partai Demokrat; dan Nazaruddin pun dikorbankan untuk menyelamatkan yang lebih besar. Semua hipotesis itu justru untuk mengaburkan pokok masalah, yaitu korupsi kartel-elite.

Antara ketakutan, harapan, dan realitas dicampuradukkan. ”Take your desire for reality!” menjadi slogan kekuasaan. Dalam dunia hiperrealitas, ada kerancuan antara prinsip realitas dan keinginan membungkam pikiran kritis. Semua hipotesis di atas sama benarnya, tetapi pencarian bukti tidak bisa memverifikasi tidak pastinya semua penafsiran itu. Semua benar berarti kebenaran dapat ditukar.

Banyak pengamat/media menghasilkan banyak versi analisis kasus sehingga masyarakat terbiasa dengan beragam versi kebenaran. Akhirnya, sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang keliru, mana pengamat serius atau pesan sponsor. Rekayasa menyusup ke celah-celah antara nilai, gagasan, dan opini untuk mengaburkan pembedaan ketiganya. Lalu nilai, gagasan, dan opini tidak lagi dibedakan sehingga diterima sebagai fakta.

Sensor pun berubah bentuk, tidak lagi menghilangkan, memotong, melarang, atau menyembunyikan. Sensor berjalan justru dalam berlimpahnya informasi sehingga orang tidak mampu melihat yang tidak beres dari suatu informasi (Ramonet, 2002:88). Sensor berlangsung dengan menciptakan hiperrealitas.

Haryatmoko Dosen Filsafat STF Driyarkara

Leave a comment