Puncak Mengancam Jakarta


 

Otak PNS Pemda memang di hormon , mereka tidak pernah berpikir panjang , yang mereka pikirkan hanya kenikmatan duit project sesaat !
Senin,
30 Juli 2012

 

Pemkab Bogor Akan Ubah Hutan Lindung Jadi Hutan Produksi dan Permukiman

 

BOGOR, KOMPAS – Ancaman tanah longsor dan banjir di Bogor dan DKI Jakarta akan membesar akibat semakin berkurangnya tutupan lahan di kawasan Puncak. Pemerintah Kabupaten Bogor berencana merevisi status hutan lindung di kawasan Puncak sehingga akan mempercepat kerusakan hulu Sungai Ciliwung.

Demikian benang merah yang disampaikan peneliti senior Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi, Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB Kukuh Murtilaksono, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Hapsoro, dan pantauan Kompas dalam sepekan terakhir hingga Minggu (29/7).

Mereka menanggapi rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor yang hendak merevisi Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025, terutama soal status hutan lindung.

Rencana itu tertuang dalam draf revisi Perda No 19/2008 yang sedang dikaji Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bogor. Ditargetkan, pada Oktober-November 2012, draf itu akan diajukan ke DPRD Kabupaten Bogor.

Dalam Perda RTRW Kabupaten Bogor yang berlaku saat ini disebutkan 8.700 hektar lahan yang sebagian besar di kawasan Puncak adalah hutan lindung. Namun, setelah perda direvisi, lahan itu nantinya akan dikembalikan sebagai hutan produksi, permukiman, dan kebun.

Kepala Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup pada Bappeda Kabupaten Bogor Suryanto Putra membenarkan rencana itu. ”Dengan revisi itu, Kabupaten Bogor tidak lagi memiliki hutan lindung. Hanya ada hutan konservasi dan hutan produksi,” kata Suryanto (Kompas, 24/7).

Ernan Rustiadi membayangkan, dengan adanya revisi perda itu, tren pengurangan tutupan lahan di Puncak akan semakin menggila dalam 20 tahun mendatang. ”Begitu ada perubahan status dalam RTRW dari hutan lindung (dikembalikan sebagai hutan produksi, permukiman, dan kebun), saya membayangkan tren akselerasi penurunan tutupan hutan,” tutur Ernan.

P4W IPB mencatat, alih fungsi lahan merupakan persoalan utama kerusakan ekosistem Puncak. Dalam kurun waktu 1990-2010 saja ada 354 hektar hutan lebat dan 755 hektar hutan semak di Subdaerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu yang sudah beralih fungsi. Sementara luas permukiman yang pada tahun 1990 tercatat 883 hektar sudah bertambah 1.287 hektar dalam 20 tahun.

Kajian Forest Watch Indonesia bahkan menunjukkan tutupan hutan di seluruh daerah aliran Sungai Ciliwung, saat ini, hanya tinggal 12 persen dari 29.067 hektar. Tutupan hutan itu pun hampir seluruhnya berada di kawasan Puncak.

Permukiman tak terkendali

Berdasarkan pengamatan Kompas, pertumbuhan permukiman di Puncak memang sudah tidak ”terkendali”. Di sepanjang jalur Gadog (Megamendung) hingga Tugu Utara (Cisarua), misalnya, hampir tak lagi tersisa lahan terbuka di tepi jalan karena dipenuhi rumah makan serta hotel dan wisma.

Data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bogor tahun 2010 menunjukkan, dari 179 wisma dan hotel (melati dan bintang) di Kabupaten Bogor, 80 persen di antaranya berada di kawasan Puncak. Sementara, dari 122 restoran menengah atas, sekitar 40 persen di antaranya berada di Puncak.

Banyak vila tak berizin juga berdiri di Cisarua dan Megamendung. Tahun 2010, Dinas Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor mencatat ada 274 vila tak berizin, sementara pada tahun 2011 jumlahnya sudah meningkat hampir dua kali lipat, menjadi 401 vila. Vila itu berada di hutan konservasi, hutan lindung, dan lahan garapan. Namun, belum ada upaya penertiban oleh pemerintah setempat dalam dua tahun terakhir ini.

Tingkatkan frekuensi banjir

Menurut Ernan, perubahan tutupan lahan ini memberi dampak pada frekuensi banjir di DKI Jakarta yang cenderung naik setiap tahun.

Hal ini juga didukung analisis tim P4W IPB yang meneliti korelasi antara curah hujan di Subdaerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu dan kejadian banjir di DKI Jakarta tahun 1990-2010. Hasilnya menunjukkan, curah hujan cenderung tetap, tidak berubah, tetapi kejadian banjir selalu naik dari tahun ke tahun. Tahun 2000, sebanyak 102 desa/kelurahan di Jabodetabek terkena banjir (6 persen), sedangkan tahun 2008 mencapai 644 desa (37,8 persen).

Kukuh Murtilaksono mengingatkan, dilihat dari kelerengan lahan di Puncak, seharusnya kawasan Puncak memang berfungsi sebagai hutan lindung. Namun, telah terjadi tarik-menarik antara keinginan melindungi lingkungan dan kepentingan ekonomi karena nilai tanah di kawasan itu tinggi. ”Harus dikaji apakah nilai ekonomi yang didapat itu sebanding dengan jasa lingkungan sebagai hutan lindung,” katanya menegaskan.

Hapsoro dari Forest Watch Indonesia berpendapat, rencana soal perubahan status ini hendaknya tidak ditempatkan dalam konteks perdebatan antara fungsi hutan produksi atau hutan lindung, tetapi yang perlu diperhatikan adalah fungsi yang hilang. ”Jika hutan itu statusnya menjadi hutan produksi, apakah ada jaminan fungsi lindung tetap terjaga,” ujarnya.

Menyesuaikan Perda Jabar

Kepala Bappeda Kabupaten Bogor Dandan Mulyadi menegaskan, Pemkab Bogor tidak berniat dan tidak memiliki keberanian untuk menghilangkan hutan lindung.

Menurut dia, rencana revisi itu justru hendak menyesuaikan dengan kondisi riil di lapangan serta menyesuaikan dengan Perda RTRW Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jabar 2009-2029. Dalam Perda RTRW Jabar dinyatakan tidak ada hutan lindung di Kabupaten Bogor. ”Perda RTRW Kabupaten Bogor lahir lebih dulu dari Perda RTRW Jabar sehingga kami harus menyesuaikannya,” ujarnya.

Suryanto Putra menambahkan, kendati dalam Perda RTRW Kabupaten Bogor lahan seluas 8.700 hektar ditetapkan sebagai hutan lindung, realitasnya di kawasan itu tidak terdapat hutan lindung.

Perhitungan di atas peta, lahan yang diarahkan sebagai hutan lindung dalam RTRW itu sebenarnya 63 persen (5.469 hektar) merupakan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani dan 30 persen (3.087 hektar) kawasan nonhutan berupa permukiman dan pertanian. (GAL)

Leave a comment